Nama Penulis: Putri Ani
Asal Sekolah: SMAN 1 Kandis
Sayap-Sayap Peradaban
Senja mulai tenggelam di ufuk barat, membentangkan langit bagaikan kain batik
raksasa bercorak jingga, ungu, dan merah yang menari-nari di pelukan awan.
Semilir angin sore berbisik di sela-sela dedaunan kelapa, membawa aroma tanah
basah dan kayu bakar dari dapur, bercampur dengan wangi kopi kakeknya yang
masih mengepul, seolah menyimpan rahasia malam yang tahu cara
mengungkapnya. Di bawah pohon rindang di halaman rumah panggungnya, Arsa
duduk bersila, menatap langit tanpa kata. Wuuusshh... Sayup-sayup suara pesawat
besi terdengar melintas di kejauhan. Matanya mengikut jejak burung besi itu, seolah
angan-anganya turut terbawa cakrawala yang tak terjangkau.
"Kakek," panggilnya pelan, menoleh ke arah lelaki tua di sampingnya. "Kenapa
pesawat bisa terbang?"
Kakeknya, seorang pria dengan wajah penuh garis-garis usia, hanya tersenyum
kecil. Ia tidak langsung menjawab, hanya menyesap kopinya perlahan lalu melipat
tangannya, memandang cucunya dengan sorot mata penuh kebijaksanaan.
“Karena ada orang yang tak hanya bertanya, Nak, tapi mencari jawabannya.”
Arsa, satu-satunya cucu lelaki dalam keluarga, dikenal pendiam, tapi sorot matanya
selalu menyiratkan rasa ingin tahu yang dalam. Di balik diamnya, ada hal-hal kecil
yang tak selalu bisa ia ungkapkan. Setiap duduk di samping kakek, ia merasa
seperti berada di dekat jendela dunia dimana tempat cerita dan jawaban
berseliweran, meski tak semuanya bisa dimengerti. Kini, bocah itu mengerutkan
dahi. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi ragu. Apa gunanya? Ia sudah sering bertanya
tentang banyak hal, tapi tak semua pertanyaannya mendapatkan jawaban yang
memuaskan. Dunia ini penuh dengan misteri yang terkadang lebih baik dibiarkan
saja. Namun berbeda dengan orang lain, Kakeknya selalu memiliki jawaban. Bukan
sekadar jawaban biasa, tapi jawaban yang seakan menyimpan banyak pertanyaan
di dalamnya. Pria tua di sampingnya menghela napas pelan. Ia tidak langsung
menjawab, melainkan meraih selembar kain batik yang terlipat rapi di sampingnya.
Tangannya mengusap lembut motif-motif yang tertata indah dengan perpaduan
warna di atasnya seperti membaca kisah yang tertulis tanpa aksara. “Yang kamu
lihat mungkin hanya sehelai kain, Nak. Tapisetiap pola di dalamnya terajut dengan
cerita tentang siapa kita” katanya pelan.
Arsa mengangkat alis. "Maksud Kakek?" tanyanya, kebingungan.
“Kain ini warisan dari nenek moyang kita. Setiap motifnya menyimpan cerita,
warisan dari leluhur kita. Sama seperti pesawat itu, bukan sekadar mesin, tapi
cerminan dari impian, perjuangan, dan jati diri bangsa.” Arsa menatap kain itu,
lalu kembali mengarahkan pandangannya ke langit. Angin senja berembus lembut,
membawa hawa hangat yang perlahan berbaur dengan kesejukan malam yang
mulai merayap. “Kakek bicara soal pesawat atau budaya?” tanyanya heran.
Kakek tertawa kecil. “Dua-duanya. Karena keduanya berakar pada satu hal yang
sama: identitas kita.” Arsa terdiam. Kalimat itu berputar dalam pikirannya, tapi
tetap saja terasa samar. Budaya? Identitas? Ia selalu menganggap budaya sebagai
sesuatu yang kuno, sesuatu yang hanya muncul saat perayaan adat atau festival
sekolah. Bukan sesuatu yang bisa mengubah dunia. Kakek menatapnya dalam-
dalam, lalu bertanya, “Pernah lihat burung enggang?”
Arsa mengangguk. "Burung besar yang sayapnya kuat dan terbang tinggi di hutan
Kalimantan?"
“Betul,” ujar sang kakek. “Dulu, orang-orang kita mengamati burung sebelum
mengenal pesawat. Dalam mitologi Dayak, burung enggang bukan sekadar
burung. Ia adalah simbol leluhur, pembawa keberanian, dan penghubung antara
langit dan bumi. Lalu, ada pula kisah Garuda, yang menjadi lambang bangsa kita
sayapnya melindungi, cakarnya menggenggam erat persatuan.” Arsa termenung.
“Jadi? pesawat terbang karena kita belajar dari burung?” Kakeknya tertawa kecil.
“Bukan hanya dari burung, Nak. Tapi dari banyak hal. Leluhur kita sudah mengenal
cara memahami alam jauh sebelum pesawat ditemukan. Lihat rumah kita ini, rumah
panggung khas Melayu. Nenek moyang kita membangunnya dengan perhitungan
matang tiangnya dibuat tinggi agar terlindung dari banjir, dan bentuknya dirancang
supaya angin mengalir dengan baik, membuat rumah tetap sejuk. Mereka mungkin
tidak menyebutnya teknologi seperti kita sekarang, tapi mereka sudah memahami
cara bertahan dengan ilmu yang mereka miliki." Arsa menatap sekeliling. Ia baru
sadar betapa rumah mereka memang seolah ‘melayang’ di atas tanah, berdiri kokoh
dengan pilar-pilar tinggi. “Begitu juga dengan perahu Pinisi dari Bugis,” lanjut
kakeknya. “Layar dan lambungnya dibuat dengan perhitungan cermat agar bisa
menaklukkan lautan luas. Dan angklung dari Sunda, tahukah kau nak? Itu bukan
hanya alat musik, tapi juga simbol kerja sama antara satu bambu dengan yang
bambu lainnya, satu bambu tak akan bisa menghasilkan nada indah sendirian, tapi
bersama, mereka menciptakan harmoni.”
Arsa mulai memahami. Tapi tetap ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.
“Kalau budaya kita sekuat itu,” katanya perlahan, “kenapa kita masih kalah dari
bangsa lain? Kenapa teknologi besar justru lahir dari luar negeri? kenapa masih
banyak orang yang tidak tahu?" gumamnya lirih, hampir tidak terdengar.
Kakeknya meletakkan tangannya di bahu Arsa, memberinya kehangatan. "Karena
banyak dari kita yang lupa untuk melihat ke dalam. Tapi mereka yang mengerti,
merekalah yang akan mengubahnya."
Kakek terdiam sejenak. Angin membawa suara debur sungai di kejauhan. Aroma
kopi di tangannya kini bercampur dengan wangi kayu yang terbakar di tungku
dapur. "Kau tahu, Nak, dulu ada seorang anak bangsa yang juga bertanya seperti
itu," ujar kakek akhirnya. "Tapi dia tak berhenti di pertanyaan. Dia mencari ilmu,
berkelana jauh, menggenggam ilmu dan mimpi. Ia mengamati burung terbang, dan
menemukan cara untuk membuat sayap bagi negerinya sendiri." Arsa mengernyit,
rasa penasarannya semakin membuncah. “Siapa dia, Kek?”
Kakek tersenyum kecil. “Namanya bukan lagi yang penting. Yang lebih penting
adalah cara berpikirnya. Ia belajar dari alam, dari burung-burung yang
membentangkan sayap, dari cara angin bertiup, dari lengkungan ombak yang
memecah pantai...” Arsa mengerutkan kening, mencoba memahami.
“Pesawat itu...” kakek melanjutkan, “lahir dari budaya kita.”
Bocah itu tersentak. “Maksud Kakek?” Kakek membentangkan kain batik itu di
pangkuan. “Lihat motifnya. Bukankah ini seperti sayap yang melebar? Dulu, motif
seperti ini bukan sekadar hiasan. Ini adalah ilmu. Orang-orang dulu mengamati
burung enggang di Kalimantan, sayapnya yang kokoh tapi ringan. Dari situlah lahir
bentuk dasar nya.” Arsa melongo, bibirnya sedikit terbuka. “Jadi, pesawat yang kita
lihat hari ini, benar-benar terinspirasi dari burung Indonesia?” tanyanya dengan
nada takjub, seolah baru saja menemukan potongan kecil dari rahasia semesta.
Kakek mengangguk. “Tak hanya itu,”
“Banyak inovasi besar lahir dari kebudayaan kita. Struktur anyaman bambu
menginspirasi konstruksi gedung tahan gempa. Kelincahan dan keseimbangan
dalam tarian tradisional mencerminkan keharmonisan gerak yang terjaga turun-
temurun. Dan masih banyak lagi... Sayangnya, banyak dari kita yang lupa bahwa
budaya bukan sekadar masa lalu, Nak. Ia adalah ilmu, warisan, dan kunci masa
depan.” Arsa terdiam. Ada sesuatu yang menusuk hatinya. Selama ini, ia sering
merasa bahwa menjadi bagian dari generasi sekarang berarti harus meninggalkan
yang lama, menggenggam teknologi dan melupakan budaya. Dan mengira budaya
hanyalah sesuatu yang dipamerkan di museum. Tapi kini, ia melihat bahwa
keduanya tidak terpisah mereka bisa berjalan berdampingan.
Tiba-tiba, Whooshh! Angin bertiup lebih kencang. Kain batik di pangkuan kakek
terbang tertiup angin, melayang ke tanah. Arsa refleks berlari mengejarnya. Ia
menangkap ujung kain itu sebelum jatuh ke lumpur, lalu menepuk-nepuknya. Saat
ia kembali, kakeknya tersenyum. "Begitulah budaya kita, Nak," katanya. "Jika tak
kau jaga, ia bisa hilang terbawa angin. Tapi jika kau genggam, ia bisa menjadi
sesuatu yang indah, yang memberi arti bagi hidupmu dan mungkin bagi banyak
orang lain." Arsa menggenggam kain itu erat, merasakan teksturnya yang kasar
namun hangat di tangannya. Tepat saat itu, suara kepak sayap terdengar di atas
mereka. Seekor burung enggang melintas di bawah cahaya bulan, mengepakkan
sayapnya dengan gagah. Arsa mengikuti gerakannya dengan mata berbinar. Kakek
nya berkata. “Enggang itu tidak takut terbang tinggi, meski ia berasal dari hutan
yang jauh di bawah,” ujar kakek dengan matanya berbinar. “Begitu pula dengan
kita. Jika kita ingin melesat ke masa depan, kita harus berani mengenal akar kita
sendiri.”
"Jadi, pesawat itu bukan sekadar teknologi, tapi juga cerminan dari perjalanan
bangsa kita?" tanyanya. Kakeknya tersenyum bangga. "Tepat. Seperti burung
enggang yang tidak bisa dikurung, seperti layar Pinisi yang selalu mencari angin,
seperti angklung yang harmoninya hanya tercipta dalam kebersamaan. Pesawat
adalah simbol bahwa kita bisa terbang tinggi, tanpa melupakan akar kita." Arsa
menatap burung enggang itu sampai ia lenyap di antara bintang-bintang. Ada
sesuatu dalam hatinya yang berubah. “Jadi, kalau aku ingin membangun masa
depan Indonesia, aku harus mulai dari memahami budayanya?” tanyanya lirih.
Kakek mengangguk, sorot matanya lembut, seolah tersenyum. “Budaya adalah
akar, Nak. Dari akar yang kuat, pohon akan tumbuh menjulang. Jika kita ingin
terbang tinggi, kita harus tahu dari mana kita berasal.” Langit semakin gelap,
cakrawala perlahan hilang ditelan langit malam. Tapi di mata Arsa, ada cahaya baru
yang menyala. Ia menatap kakeknya dengan tekad yang bulat, ingin berkata
sesuatu, tapi hanya tersenyum. Karena malam itu, untuk pertama kalinya, ia
mengerti, bahwa kebudayaan bukan sekadar tempat cerita lama, melainkan fondasi
tempat mimpi itu dibangun. Pesawat di langit tak lagi tampak asing. Ia melihatnya
sebagai bukti bahwa bangsanya punya potensi besar. Ia menggenggam erat kain
batik di pangkuannya, merasakan teksturnya yang lembut namun penuh makna.
Lalu kembali menatap langit, mengikuti jejak burung enggang yang kini
menghilang di kejauhan.
Senyum kecil terukir di wajahnya. “Enggang itu tidak takut terbang tinggi,”
gumamnya. “Aku juga tidak akan takut.”
Di kejauhan, suara pesawat kembali terdengar. Kali ini, Arsa tidak hanya sekadar
menonton. Ia sudah tahu, suatu hari nanti, ia akan ikut terbang bersama mimpinya.
0 Komentar