SMAS Plus Taruna Andalan
Sepetak Kain dengan Keberagaman
Anastasya Gladys Pricillia
Aku baru sadar adikku telah meninggalkanku selamanya. Tubuh mungilnya
mulai hancur dan menyebarkan aroma busuk, lalat-lalat beterbangan di atas dan
belatung keluar di setiap kulitnya. Aku bagaikan seekor anjing gila menggali lubang
sambil meraung. Bahkan di detik terakhirnya aku bahkan tidak bisa memberikan
pemakaman yang layak baginya. Tinggal diantara tumpukan sampah dan memakan
makanan yang di rebut dari para binatang yang kelaparan. Aku adalah Abang yang
buruk.
Aku Meringkuk di dalam rumah kardus yang akan roboh kapan saja. Dengan
lumpur dan tanah yang masih melekat, aku memeluk boneka yang aku jahit untuk Nia,
adikku. Boneka perempuan yang memakai pakaian Jawa. Nia sangat senang dengan
pakaian tradisional, bahkan saat aku yang memulung sampah untuk mendapat uang,
ia ikut hanya untuk mencari majalah yang membahas tentang berbagai warisan
budaya. Kami tidak sekolah, tapi kami bisa membaca di ajari oleh ibu kami. Ya,
dulu ia mengajari kami sebelum ia lompat dari jembatan dan meninggalkan aku dan
Nia seorang diri. Padahal ia tahu anaknya ini baru menginjak usia 12 tahun tapi
harus menderita karena ke egoisnya. Sungguh ironis.
Aku melihat sekeliling, lembaran demi lembaran majalah tertempel di setiap
sisi rumah kardus, dan di satu sisi hanya ada baju yang tergantung dengan baik, itu
baju yang aku jahit untuk Nia. Baju yang aku desain dengan kain perca yang terlah
tercampur dengan aroma sampah. Tidak layak, tapi ia selalu senang dengan apa
yang aku buat dari jari-jari ini. Angin malam bertiup membawa aroma busuk dan
amis. Aku menutupi diri dengan kain perca yang aku jahit untuk menghangatkan
diri. Mata yang sembab karena menangis mulai menutup. Dalam gelap aku
berharap, esok harus menjadi hari yang baik.
Pagi ini matahari kelihatannya tidak malu-malu, ia menampak kan dirinya
tanpa harus bersembunyi di antara awan. Dengan sekarung goni di pundak, aku
mulai mencari harta Karun yang dapat menjadi uang di tumpukan sampah ini. Aku
mengambil beberapa barang yang cukup bagus dan memasukkan ke dalam goni.
Ketika pundakku mulai merasa berat aku pun berhenti dan mulai menukar barang
ini.
“Wah... tangkapan yang bagus kali ini, Jian,” serunya dengan senyuman.
“Kebetulan saja aku menemukan barang yang menarik. Mana bayaranku.
Aku sudah lapar,” ketusku.
“Akan aku bayar, kamu sabar saja dulu dasar bocah,” balasnya kesal.
“Oh dimana adikmu. Aku tidak melihatnya, padahal aku mau memberikan
majalah ini padanya.” Lanjut pria itu memberikan majalah tepat di depan wajahku.
Wajahnya tersenyum lebar tapi matanya menatapku dengan pandangan yang
menjijik kan.
“Sudah mati. Oh majalahnya akan aku simpan.” Aku menarik majalah itu
dari tangannya dan memasukkannya ke dalam goni.
“... Apa? Jian kalau bercanda jangan berlebihan, hei... itu candaan kan?”
Pria itu kelihatan panik.
“Tidak, adikku telah menyatu dengan tanah. Terimakasih berkatmu,”
timpalku dengan wajah datar. Aku mengambil uang bayaranku dan
meninggalkannya dengan raut wajah yang masih tidak percaya. Aku langsung
mencari warung dan membeli nasi bungkus disana. Tidak dapat di percaya, bisa-
bisanya aku makan dari uang yang aku dapat dari orang yang membuat adikku
seperti itu. Sial.
Dengan karung goni di pundak dan sekantong plastik berisi nasi bungkus di
tangan, aku kembali ke rumah kardus. Dari kejauhan aku dapat melihat rumah
bobrok itu. Saat sudah mulai mendekat ke arah rumah, aku melihat seorang pria tua
dengan tongkat di tangannya. Aku tidak tahu siapa dia, jadi aku mendekat dengan
waspada jika-jika ia orang yang berbahaya.
“Oh, nak. Apakah kamu yang tinggal disini?” ucap pria tua itu dengan
senyum hangat.
“Ya... dan Anda siapa?” balasku dengan hati-hati.
“Aku hanya pria tua yang lewat, oh ya apakah pakaian ini milikmu?” pria
tua itu memberikan baju yang biasanya tergantung di sisi rumah. Aku terkejut,
bagaimana ia bisa mendapatkan baju itu. Aku langsung mengambil baju itu dari
tangannya dan menatap tajam kearahnya.
“Tenanglah nak, baju itu sepertinya terjatuh dan terbawa oleh seekor ajing
yang masuk. Aku tidak sengaja melihatnya dan mengambilnya. Apakah kamu yang
membuat itu pria kecil?” kata pria tua itu dengan nada lembut dan berhati-hati.
“Ya...” balasku.
“Wah... sungguh mengagumkan. Aku tidak menyangka anak yang berbakat
sepertimu ada di tempat seperti ini, apakah kau juga tertarik dengan budaya
tradisional? Hoho sangat jarang menemukan anak yang memiliki hobi seperti ini.”
Kakek itu kelihatan sangat bersemangat ia terus mengoceh ini itu dan mendekat
perlahan. Secara refleks aku tentunya mundur, menyadari raut wajahku yang
enggan pria tua itu mulai mundur perlahan dengan wajah yang menyesal.
“Oh apa aku menakutimu pria kecil? Maaf kan pria tua ini, aku menjadi
sangat bersemangat karena bertemu dengan orang yang memiliki hobi ini.”
“Tidak masalah... itu, apakah Anda juga suka menjahit pakaian
tradisional?” balasku.
“Tidak, tapi mendiang istriku menyukainya. Kalau aku hanya seorang
pelukis. Berbeda dengan aku, justru istriku menyukainya kultur budaya serta
pakaian mereka,” kata pria tua itu dengan senyum hangatnya. Tingkat kewaspadaan
ku menurun terhadapnya, di lihat bagaimana pun ia tidak mungkin melakukan hal
jahat terhadap anak kecil bukan?
“Hai nak, apakah kamu mau ikut denganku ke kota Yogyakarta? Disana
akan lebih baik dari pada di TPA ini. Aku yang akan menjadi walimu, di sana mari
kembangkan bakatmu.” Pria tua itu mengulurkan tangannya dengan senyum yang
lembut. Aku ragu, apakah ia dapat di percaya? Bagaimana jika ia berbohong dan
menjual aku kepada preman atau semacamnya? Aku hanya menatap tangannya
yang terulur kepadaku, tangan yang keriput itu sepertinya tidak akan menyakitku
kan?
“Apa kamu tidak suka? Pria kecil, aku ini hanya seorang pelukis. Aku sudah
tua, janganlah kamu takut padaku. Kamu akan aku perilaku kan seperti cucuku,”
tuturnya dengan lembut dan hangat. Aku pun menggenggam tangan keriput itu.
Kakek tua itu tersenyum dan mengelus kepalaku dengan lembut.
Aku pun setuju mengikuti pria tua itu ke kota Yogyakarta. Sebelum
berangkat kami berpamitan untuk terakhir kalinya kepada Nia lalu menuju bandara
pergi meninggalkan rumah bobrok dan seluruh tumpukan tinggi sampah itu. Aku
cukup gugup, ini adalah kali pertama aku keluar menuju dunia yang lebih luas.
Biasanya aku hanya melihat hal itu dari selembar kertas dan membayangkan
semunya di dalam mimpi. Tapi sekarang, aku melihat dunia laur itu dengan mata
telanjang. Indah sungguh indah. Hingga tanpa aku sadari kami telah tiba di tanah
Yogyakarta.
Pria tua itu membuka pintu rumahnya. Mataku langsung takjub dengan apa
yang sedang aku lihat. Begitu banyak lukisan yang terpajang di sisi rumah, tidak
hanya ada lukisan. Aku juga menemukan beberapa aksesoris yang biasanya
digunakan di pakaian tradisional, beberapa adadari suku seperti Jawa, Dayak dan
ada juga ikat kepala dari Papua yang terpajang. Di antara semua itu aku tidak dapat
mengalihkan mataku pada pakaian yang terpajang tepat di bawah sulaman benang
yang membentuk garuda, ya itu lambang Negara ini sekarang. Pancasila. Pakaian
itu terlihat sederhana dengan menonjolkan ciri khas Jawa yang simpel melainkan
elegan, sedikit di modifikasi dengan menambahkan beberapa elemen dari batik
melayu di bagian songket dan sunting kepala Minang yang terlihat lebih simpel dan
kecil.
“Hoho, apa kau tertarik dengan pakaian itu nak Jian? Itu adalah pakaian
yang di buat mendiang istriku terakhir kalinya. Sebelumnya ia menjahit itu untuk
merayakan hari pernikahan kami, tapi sepertinya takdir berkata lain,” ucap pria tua
itu dengan sedikit serak.
“...pasti ia sangan cantik jika mengenakan pakaian ini,”
“Tapi, kenapa ada sulaman garuda di sana? Apakah Anda merupakan
mantan pejabat atau semacamnya?” balasku dengan penasaran.
“Hahaha, tentu saja tidak. Kami memajang ini karena kami ingin
menghargai sang garuda. Kamu tahu kan seluruh suku, budaya, dan agama di
Indonesia ini sangat banyak. Tapi karena satu simbol ini mereka menjadi satu dalam
keharmonisan. Karena lambang ini kami bisa saling mengenal dan mempelajari satu
dengan yang lain dari berbagai kalangan. Segala keindahan dalam perbedaan
sungguh menakjubkan.”
“Nak, itu lah mengapa aku tertarik denganmu, di antara gempuran teknologi
yang meningkat. Kamu mau mempertahankan budaya lokal melalui jahitanmu.
Jian, apakah kamu mau membantuku memperkenalkan kepada dunia tentang betapa
indahnya warisan budaya di Indonesia ini melalui bakatmu?”Pria tua itu menatapku
dengan sesama tapi penuh harapan di matanya.
“Apakah aku layak untuk melakukan itu kek? Aku hanya anak yang berasal
dari tumpukan sampah. Aku tidak sekolah apalagi mengikuti kursus menjahit.
Untuk mendapat sesuap nasi saja aku terkadang harus berebut dengan para anjing
kelaparan dan juga mencuri.Bahkan, aku saja telah membunuh adikku sendiri.
Karena aku terlaku lemah ia di perlakukan dengan menjijikkan dan mati karena
kelaparan. Bagaimana aku melakukan itu kek?” balasku dengan air mata yang
mengalir di pipiku.
“Latar belakangmu tidak boleh menjadi kelemahanmu Jian, tapi semangat
dari hatimu. Jika kamu sungguh memiliki tekad kuat akan mimpimu maka tidak
akan ada yang mustahil. Jangan khawatir apa yang orang katakan, jadilah dirimu
seorang. Jian aku tahu kamu bisa. Aku akan ada di sisimu selalu dan membantu.
Percayalah.” Pria tua itu mengambil sapu tangan dan mengusap air mataku dengan
lembut. Mendengar pernyataan itu aku menguatkan hatiku. Ya, aku akan
membulatkan tekadku.
Sejak saat itu, aku mulai mengikuti kursus menjahit. Pria tua itu juga
memberikanku kesempatan untuk bersekolah dan bersosialisasi. Aku akan
memanfaat kan hal yang ia berikan dengan baik. Aku kan mewujudkan mimpiku
menjadi seorang desainer terkenal dan memperkenalkan pakaian tradisional
Indonesia dengan gaya yang lebih baru dan tidak meninggalkan budaya aslinya.
Mengikuti lomba dan mempresentasikannya di acara seni kebudayaan atau pekan
budaya yang di selenggarakan. Ya, aku akan memperkenalkan kepada dunia betapa
indahnya ragam warisan dunia hanya dengan sepetak kain ini.
0 Komentar