HIKAYAT PIRIANG DARI SEBERANG - Muhammad Abdillah Izzulhaq



HIKAYAT PIRIANG DARI SEBERANG

Angin pagi berhembus pelan menyapu debu merah yang mengepul dari perut bumi

Pualam Bintan, membawa serta terik matahari yang menggigit kulit para kuli 

tambang. Iwan menyeka keringat di dahinya yang sudah mengalir seperti sungai

kecil, sementara tangannya yang berkapalan terus mengayunkan cangkul dengan

ritme yang sudah hafal di luar kepala. Di kejauhan, sosok Meneer Wilis terlihat

mendekat dengan langkah berat, perutnya yang membuncit seperti karung beras

yang hampir pecah bergoyang-goyang mengikuti gerakannya.

"Kerja! Kerja!" teriak Meneer Wilis dengan suara seraknya yang khas,

seperti gong yang retak. Tangannya menggenggam erat tongkat hitam legam yang

selalu dibawanya Annabelle, begitu ia menyebutnya. Tongkat itu berkilat sinis di

bawah terik matahari, seolah menyimpan cerita-cerita kelam di setiap goresan

kayunya.

Iwan dan kawan-kawannya saling memandang, lalu tersenyum kecut.

Mereka sudah terlalu sering mendengar teriakan itu, hingga kata-kata Meneer Wilis

tak lagi menusuk, melainkan hanya menjadi bunyi latar yang mengisi hari-hari

mereka. "Yuhuu!" sahut salah seorang dari mereka ketika Meneer Wilis mencapai

nada tertinggi dalam kemarahannya, diiringi gelak tawa yang sengaja dibiarkan

menggema.

Tapi Annabelle tak pernah mentolerir kelengahan. Tiba-tiba, tongkat itu

mendarat di pundak Iwan dengan keras, meninggalkan bekas merah yang perlahan

membiru. "Kau pikir ini main-main?" geram Meneer Wilis, matanya menyipit

seperti pisau yang baru diasah. Iwan hanya mengerang pelan, sementara di dalam

hatinya, api kemarahan mulai menyala-nyala.

Malam itu, ketika bulan sudah tinggi dan dingin menusuk tulang, Iwan

duduk di sudut sel penjaranya yang sempit. Tangannya menggenggam sepotong

batu gamping, perlahan menggores garis-garis di lantai yang sudah penuh dengan


coretan serupa. Setiap goresan adalah hitungan hari, setiap garis adalah janji yang

tak terucap.

"Kita tak bisa terus begini," bisik Mat Jusoh, teman satu selnya, suaranya

parau seperti daun kering yang tertiup angin.

Iwan mengangguk pelan. Matanya menatap rembulan di balik jeruji besi,

seolah mencari jawaban dari langit yang diam. "Malam ini," ujarnya lirih, "kita

ambil kembali apa yang jadi hak kita."

Di luar, angin berbisik pelan, membawa kabar tentang rencana yang akan

mengubah segalanya.

Sementara itu, di seberang pulau, Wani berdiri di depan cermin kecil di

kamarnya, mengenakan gaun kuning kesayangannya. Warna itu seperti mentari

yang terperangkap dalam kain, cocok dengan kulit langsatnya yang halus. Hari ini

adalah hari pentasnya, dan ia ingin tampil sempurna.

Tapi pikirannya melayang ke rumah sakit, di mana ayahnya, Iwan, terbaring

tak berdaya setelah jatuh dari atap supermarket yang sedang dibangunnya. "Ayah

terlalu keras kepala," gumam Wani sambil mengusap air mata yang tak sengaja

menetes.

Di atas panggung, Wani melenggok dengan gemulai, piriang di tangannya

berputar-putar seperti kupu-kupu yang menari. Namun, tiba-tiba, bayangan

ayahnya muncul lagi di benaknya. Kakinya tersandung, tubuhnya terjatuh, dan

piriang kesayangannya yang kuning keemasan seperti cahaya bulan terlepas dari

genggamannya dan menghujam kakinya sendiri.

Darah mengalir, tapi yang lebih sakit adalah rasa malu dan sedih yang

menyergapnya.


***


Kembali ke Pualam Bintan, Iwan dan kawan-kawannya bergerak diam-diam dalam

kegelapan. Langkah mereka ringan seperti bayangan, menghindari setiap jangkauan

lampu sorot yang berayun-ayun.

"Sudah waktunya," bisik Iwan, tangannya menggenggam erat benda yang

akan mengubah nasib mereka.


BOOM!

Suara ledakan mengguncang bumi, membangunkan semua orang dari tidur


mereka. Asap tebal mengepul, dan dalam kebingungan itu, Iwan serta kawan-

kawannya berlari menuju kebebasan yang sudah lama mereka impikan.


Di rumah sakit, Wani terbangun dari mimpinya oleh teriakan ayahnya.

"Iwan ada di sini!" seru Iwan dalam keadaan setengah sadar, membuat Wani kaget

dan segera memanggil dokter.

Ketika Iwan akhirnya sadar sepenuhnya, matanya langsung tertuju pada

pecahan piriang Niwa, kenangan terakhir dari masa lalunya yang berserakan di

lantai. Dadanya sesak, tapi ketika ia melihat Wani berdiri di depan pintu dengan

wajah penuh penyesalan, kemarahannya perlahan mencair.

"Maafkan saya, Ayah," bisik Wani, air matanya mengalir deras.

Iwan menarik napas dalam-dalam, lalu membuka lengannya. "Tak apa, Nak.

Yang penting kita masih bersama."

Dalam pelukan itu, mereka menemukan kedamaian yang selama ini dicari.

Piriang mungkin sudah pecah, tetapi cinta mereka tetap utuh seperti bumi Lancang

Kuning yang tak pernah berhenti berputar.

***


Debu merah Pualam Bintan masih menempel di kerutan wajah Iwan ketika ia duduk

termenung di beranda rumah kayunya, memandangi piriang Niwa yang pecah

berkeping di atas meja. Pecahan keramik kuning keemasan itu memantulkan cahaya

senja seperti air mata yang membeku, mengingatkannya pada malam tiga puluh

tahun silam ketika tanah Bintan gemetar oleh ledakan dan teriakan. Tangannya yang

berurat menggenggam erat sepotong pecahan, merasakan lekukan bekas tulisannya

sendiri yang nyaris aus: "Untuk Mat Jusoh, 12 Juni 1987". Di kejauhan, suara

ombak berdebur pelan seolah membisikkan nama-nama yang sudah pergi.

Wani muncul dari dalam rumah dengan langkah gontai, kakinya yang masih

terbungkus perban meninggalkan jejak sedih di lantai kayu. "Ayah," bisiknya


dengan suara serak, "kenapa tak pernah cerita tentang asal usul Niwa?" Udara tiba-

tiba menjadi berat seperti sebelum badai. Iwan menarik napas dalam-dalam,


mencium bau garam dan lumut yang terbawa angin laut. "Karena ini bukan sekadar

piring, Nak. Ini kuburanku yang pertama." Matanya menerawang ke cakrawala

dimana bayangan kapal-kapal tua bergoyang seperti hantu masa lalu.

Tiba-tiba saja dentang lonceng gereja tua di pelabuhan berbunyi tiga kali

padahal hari sudah petang. Wani mengernyit, tapi sebelum sempat bertanya, langit

di barat tiba-tiba memerah seperti darah. Sebuah kapal kayu antik berlabuh di

dermaga kecil dengan bunyi papan yang berderak-derit. Sosok tinggi besar dengan

topi laken hitam turun perlahan, tongkatnya yang hitam legam mengetuk-ngetuk

papan dermaga dengan irama yang mengerikan.

"Annabelle..." Iwan berbisik gemetar, wajahnya tiba-tiba kehilangan warna.

Wani merasakan dingin yang aneh menjalar di tulang belakangnya. "Tapi bukankah

Meneer Wilis sudah..."

"Matikah?" Suara parau itu datang dari depan pagar. Lelaki itu melepas

topinya, memperlihatkan wajah yang mirip dengan Meneer Wilis tapi lebih tua,

dengan mata biru pucat seperti es yang mencair. "Aku Hendrik Wilis senior. Yang

kau bunuh dulu adalah anakku." Tangannya yang berbulu putih memegang erat

tongkat Annabelle yang asli, dimana terukir nama-nama korban dalam huruf-huruf

kecil.

Angin berputar liar tiba-tiba, membawa daun-daun kering dan pasir yang

menyakitkan mata. Iwan berdiri dengan susah payah, tubuh tuanya tiba-tiba terlihat

sepuluh tahun lebih tua. "Kau datang untuk apa? Nyawaku? Ambillah! Tapi jangan

sentuh anakku!"

Hendrik tertawa dingin, suaranya seperti besi bergesekan. "Aku hanya ingin

apa yang menjadi milik keluarga kami." Tangannya menunjuk pecahan piriang di

meja. "Annabelle terakhir ada disitu dalam bauksit yang kau curi."

Wani terkesiap. Sekarang ia mengerti mengapa lukanya tak kunjung

sembuh, mengapa setiap kali ia menari dengan piriang itu, kepalanya selalu pusing.

Niwa ternyata beracun.

Dengan gerakan cepat yang tak terduga dari seorang gadis yang kakinya

masih terluka, Wani menyambar pecahan terbesar Niwa dan menghunjamkannya


ke lengan Hendrik. "Ini bukan lagi milikmu!" teriaknya sambil menunjuk ke arah

polisi yang sedang berlari ke arah mereka. "Lihat! Mereka datang untuk

menjemputmu, Meneer!"

Tapi yang lebih mengejutkan adalah ketika Hendrik tiba-tiba tersenyum

getir dan berkata, "Bagus. Akhirnya kau menemukan kebenaran, Iwan. Tapi

tahukah kau? Mat Jusoh sebenarnya adalah..."

BRAAK!

Suara tembakan mengguncang senja. Hendrik terpelanting ke belakang,

darah mengucur dari dadanya. Di balik pagar, Wina berdiri dengan senapan tua

berkarat, tangannya gemetar tapi matanya penuh kepastian. "Sudah cukup," katanya

dengan suara yang anehnya sangat tenang.

Di detik-detik terakhirnya, Hendrik justru tersenyum. "Akhirnya... aku bisa

bertemu anakku..." Bisikannya hilang diterima angin.

Malam itu, ketika bulan purnama menggantung sempurna di atas Lancang

Kuning, Iwan memeluk erat Wani di dermaga. "Ayah mohon maaf," bisiknya sambil

menatap pecahan Niwa yang mereka tebar ke laut. "Sudah membebanimu dengan

masa lalu."

Wani menggeleng, air matanya jatuh ke air yang kemudian disapu ombak.

"Tidak Ayah. Sekarang aku mengerti. Tarianku selama ini adalah doa untuk mereka

yang pergi."

Di kejauhan, nelayan-nelayan muda sedang melaut dengan piriang-piriang

baru di perahu mereka yang kini hanya dipakai untuk menampung ikan, bukan lagi

air mata. Iwan tersenyum lega. Api di pelabuhan yang menyala sepanjang malam

itu seperti menari-nari, menggambar bayangan seorang penari dengan piriang

kuning di tangannya, melenggok indah di antara gelombang waktu yang akhirnya

berdamai dengan kenangan.

Posting Komentar

0 Komentar