Angin pagi berhembus pelan menyapu debu merah yang mengepul dari perut bumi
Pualam Bintan, membawa serta terik matahari yang menggigit kulit para kuli
tambang. Iwan menyeka keringat di dahinya yang sudah mengalir seperti sungai
kecil, sementara tangannya yang berkapalan terus mengayunkan cangkul dengan
ritme yang sudah hafal di luar kepala. Di kejauhan, sosok Meneer Wilis terlihat
mendekat dengan langkah berat, perutnya yang membuncit seperti karung beras
yang hampir pecah bergoyang-goyang mengikuti gerakannya.
"Kerja! Kerja!" teriak Meneer Wilis dengan suara seraknya yang khas,
seperti gong yang retak. Tangannya menggenggam erat tongkat hitam legam yang
selalu dibawanya Annabelle, begitu ia menyebutnya. Tongkat itu berkilat sinis di
bawah terik matahari, seolah menyimpan cerita-cerita kelam di setiap goresan
kayunya.
Iwan dan kawan-kawannya saling memandang, lalu tersenyum kecut.
Mereka sudah terlalu sering mendengar teriakan itu, hingga kata-kata Meneer Wilis
tak lagi menusuk, melainkan hanya menjadi bunyi latar yang mengisi hari-hari
mereka. "Yuhuu!" sahut salah seorang dari mereka ketika Meneer Wilis mencapai
nada tertinggi dalam kemarahannya, diiringi gelak tawa yang sengaja dibiarkan
menggema.
Tapi Annabelle tak pernah mentolerir kelengahan. Tiba-tiba, tongkat itu
mendarat di pundak Iwan dengan keras, meninggalkan bekas merah yang perlahan
membiru. "Kau pikir ini main-main?" geram Meneer Wilis, matanya menyipit
seperti pisau yang baru diasah. Iwan hanya mengerang pelan, sementara di dalam
hatinya, api kemarahan mulai menyala-nyala.
Malam itu, ketika bulan sudah tinggi dan dingin menusuk tulang, Iwan
duduk di sudut sel penjaranya yang sempit. Tangannya menggenggam sepotong
batu gamping, perlahan menggores garis-garis di lantai yang sudah penuh dengan
coretan serupa. Setiap goresan adalah hitungan hari, setiap garis adalah janji yang
tak terucap.
"Kita tak bisa terus begini," bisik Mat Jusoh, teman satu selnya, suaranya
parau seperti daun kering yang tertiup angin.
Iwan mengangguk pelan. Matanya menatap rembulan di balik jeruji besi,
seolah mencari jawaban dari langit yang diam. "Malam ini," ujarnya lirih, "kita
ambil kembali apa yang jadi hak kita."
Di luar, angin berbisik pelan, membawa kabar tentang rencana yang akan
mengubah segalanya.
Sementara itu, di seberang pulau, Wani berdiri di depan cermin kecil di
kamarnya, mengenakan gaun kuning kesayangannya. Warna itu seperti mentari
yang terperangkap dalam kain, cocok dengan kulit langsatnya yang halus. Hari ini
adalah hari pentasnya, dan ia ingin tampil sempurna.
Tapi pikirannya melayang ke rumah sakit, di mana ayahnya, Iwan, terbaring
tak berdaya setelah jatuh dari atap supermarket yang sedang dibangunnya. "Ayah
terlalu keras kepala," gumam Wani sambil mengusap air mata yang tak sengaja
menetes.
Di atas panggung, Wani melenggok dengan gemulai, piriang di tangannya
berputar-putar seperti kupu-kupu yang menari. Namun, tiba-tiba, bayangan
ayahnya muncul lagi di benaknya. Kakinya tersandung, tubuhnya terjatuh, dan
piriang kesayangannya yang kuning keemasan seperti cahaya bulan terlepas dari
genggamannya dan menghujam kakinya sendiri.
Darah mengalir, tapi yang lebih sakit adalah rasa malu dan sedih yang
menyergapnya.
***
Kembali ke Pualam Bintan, Iwan dan kawan-kawannya bergerak diam-diam dalam
kegelapan. Langkah mereka ringan seperti bayangan, menghindari setiap jangkauan
lampu sorot yang berayun-ayun.
"Sudah waktunya," bisik Iwan, tangannya menggenggam erat benda yang
akan mengubah nasib mereka.
BOOM!
Suara ledakan mengguncang bumi, membangunkan semua orang dari tidur
mereka. Asap tebal mengepul, dan dalam kebingungan itu, Iwan serta kawan-
kawannya berlari menuju kebebasan yang sudah lama mereka impikan.
Di rumah sakit, Wani terbangun dari mimpinya oleh teriakan ayahnya.
"Iwan ada di sini!" seru Iwan dalam keadaan setengah sadar, membuat Wani kaget
dan segera memanggil dokter.
Ketika Iwan akhirnya sadar sepenuhnya, matanya langsung tertuju pada
pecahan piriang Niwa, kenangan terakhir dari masa lalunya yang berserakan di
lantai. Dadanya sesak, tapi ketika ia melihat Wani berdiri di depan pintu dengan
wajah penuh penyesalan, kemarahannya perlahan mencair.
"Maafkan saya, Ayah," bisik Wani, air matanya mengalir deras.
Iwan menarik napas dalam-dalam, lalu membuka lengannya. "Tak apa, Nak.
Yang penting kita masih bersama."
Dalam pelukan itu, mereka menemukan kedamaian yang selama ini dicari.
Piriang mungkin sudah pecah, tetapi cinta mereka tetap utuh seperti bumi Lancang
Kuning yang tak pernah berhenti berputar.
***
Debu merah Pualam Bintan masih menempel di kerutan wajah Iwan ketika ia duduk
termenung di beranda rumah kayunya, memandangi piriang Niwa yang pecah
berkeping di atas meja. Pecahan keramik kuning keemasan itu memantulkan cahaya
senja seperti air mata yang membeku, mengingatkannya pada malam tiga puluh
tahun silam ketika tanah Bintan gemetar oleh ledakan dan teriakan. Tangannya yang
berurat menggenggam erat sepotong pecahan, merasakan lekukan bekas tulisannya
sendiri yang nyaris aus: "Untuk Mat Jusoh, 12 Juni 1987". Di kejauhan, suara
ombak berdebur pelan seolah membisikkan nama-nama yang sudah pergi.
Wani muncul dari dalam rumah dengan langkah gontai, kakinya yang masih
terbungkus perban meninggalkan jejak sedih di lantai kayu. "Ayah," bisiknya
dengan suara serak, "kenapa tak pernah cerita tentang asal usul Niwa?" Udara tiba-
tiba menjadi berat seperti sebelum badai. Iwan menarik napas dalam-dalam,
mencium bau garam dan lumut yang terbawa angin laut. "Karena ini bukan sekadar
piring, Nak. Ini kuburanku yang pertama." Matanya menerawang ke cakrawala
dimana bayangan kapal-kapal tua bergoyang seperti hantu masa lalu.
Tiba-tiba saja dentang lonceng gereja tua di pelabuhan berbunyi tiga kali
padahal hari sudah petang. Wani mengernyit, tapi sebelum sempat bertanya, langit
di barat tiba-tiba memerah seperti darah. Sebuah kapal kayu antik berlabuh di
dermaga kecil dengan bunyi papan yang berderak-derit. Sosok tinggi besar dengan
topi laken hitam turun perlahan, tongkatnya yang hitam legam mengetuk-ngetuk
papan dermaga dengan irama yang mengerikan.
"Annabelle..." Iwan berbisik gemetar, wajahnya tiba-tiba kehilangan warna.
Wani merasakan dingin yang aneh menjalar di tulang belakangnya. "Tapi bukankah
Meneer Wilis sudah..."
"Matikah?" Suara parau itu datang dari depan pagar. Lelaki itu melepas
topinya, memperlihatkan wajah yang mirip dengan Meneer Wilis tapi lebih tua,
dengan mata biru pucat seperti es yang mencair. "Aku Hendrik Wilis senior. Yang
kau bunuh dulu adalah anakku." Tangannya yang berbulu putih memegang erat
tongkat Annabelle yang asli, dimana terukir nama-nama korban dalam huruf-huruf
kecil.
Angin berputar liar tiba-tiba, membawa daun-daun kering dan pasir yang
menyakitkan mata. Iwan berdiri dengan susah payah, tubuh tuanya tiba-tiba terlihat
sepuluh tahun lebih tua. "Kau datang untuk apa? Nyawaku? Ambillah! Tapi jangan
sentuh anakku!"
Hendrik tertawa dingin, suaranya seperti besi bergesekan. "Aku hanya ingin
apa yang menjadi milik keluarga kami." Tangannya menunjuk pecahan piriang di
meja. "Annabelle terakhir ada disitu dalam bauksit yang kau curi."
Wani terkesiap. Sekarang ia mengerti mengapa lukanya tak kunjung
sembuh, mengapa setiap kali ia menari dengan piriang itu, kepalanya selalu pusing.
Niwa ternyata beracun.
Dengan gerakan cepat yang tak terduga dari seorang gadis yang kakinya
masih terluka, Wani menyambar pecahan terbesar Niwa dan menghunjamkannya
ke lengan Hendrik. "Ini bukan lagi milikmu!" teriaknya sambil menunjuk ke arah
polisi yang sedang berlari ke arah mereka. "Lihat! Mereka datang untuk
menjemputmu, Meneer!"
Tapi yang lebih mengejutkan adalah ketika Hendrik tiba-tiba tersenyum
getir dan berkata, "Bagus. Akhirnya kau menemukan kebenaran, Iwan. Tapi
tahukah kau? Mat Jusoh sebenarnya adalah..."
BRAAK!
Suara tembakan mengguncang senja. Hendrik terpelanting ke belakang,
darah mengucur dari dadanya. Di balik pagar, Wina berdiri dengan senapan tua
berkarat, tangannya gemetar tapi matanya penuh kepastian. "Sudah cukup," katanya
dengan suara yang anehnya sangat tenang.
Di detik-detik terakhirnya, Hendrik justru tersenyum. "Akhirnya... aku bisa
bertemu anakku..." Bisikannya hilang diterima angin.
Malam itu, ketika bulan purnama menggantung sempurna di atas Lancang
Kuning, Iwan memeluk erat Wani di dermaga. "Ayah mohon maaf," bisiknya sambil
menatap pecahan Niwa yang mereka tebar ke laut. "Sudah membebanimu dengan
masa lalu."
Wani menggeleng, air matanya jatuh ke air yang kemudian disapu ombak.
"Tidak Ayah. Sekarang aku mengerti. Tarianku selama ini adalah doa untuk mereka
yang pergi."
Di kejauhan, nelayan-nelayan muda sedang melaut dengan piriang-piriang
baru di perahu mereka yang kini hanya dipakai untuk menampung ikan, bukan lagi
air mata. Iwan tersenyum lega. Api di pelabuhan yang menyala sepanjang malam
itu seperti menari-nari, menggambar bayangan seorang penari dengan piriang
kuning di tangannya, melenggok indah di antara gelombang waktu yang akhirnya
berdamai dengan kenangan.
0 Komentar