Jejak Aksara Ayu - Mitraturahmah

Jejak Aksara Ayu

Oleh: Mitraturahmah


“Oke, maju sedikit. Up! Pas.” Suara bariton khas seorang mandor yang

mengarahkan anggotanya untuk menghancurkan bangunan-bangunan tua yang ada

di desa pedalaman, Kampar. Dahulunya desa ini ditinggali oleh banyak masyarakat

lokal. Tetapi karena adanya rancangan pembangunan jalan tol yang akan

menghubungkan antara Kab. Kampar-Kab. Rokan Hulu. Maka tanah masyarakat

dibeli oleh pemerintah pusat.

Oleh karena itu, kini setiap rumah yang ada di desa ini kosong dan petugas

dari pemerintah untuk membangun jalan tol sudah siap sedia untuk melaksanakan

tanggung jawabnya. Matthew adalah seorang petugas pemetaan untuk proyek tol

Bangkinang-Pasir Pengaraian. Ia diberikan tanggung jawab penuh untuk

memetakan daerah yang akan dibangun jalan tol. Setiap sudut desa ia susuri,

keindahan alam di daerah itu masih sangat terjaga dan sangat indah.

Angin sepoi-sepoi menghampirinya, tidak ada yang salah dengan daerah di

sini. Ia kembali memutar tubuhnya mengarah pada bentuk bangunan rumah

masyarakat yang terlihat sangat kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan

zaman. Tanpa ekspresi, ia melihat bangunan itu hancur lebur dan menyisakan

puing-puing bebatuan yang tidak berguna. Sebab penuh debu akibat hancurnya

bebatuan tersebut, Matthew memutuskan untuk kembali menyusuri desa ini lebih

dalam.

Saat tengah melihat-lihat keindahan alam, ia tidak sengaja menemukan

sebuah nisan yang berada cukup dekat dengan hutan di belakang permukiman

penduduk. Gaya penulisan nisan yang terbilang aneh dan asing baginya yang

terlahir di kota yang apatis terhadap hal yang dianggap ketinggalan zaman.

Matthew sebenarnya adalah orang yang cuek dan menganggap bahwa budaya lokal

itu tidak penting, tapi ketika ia bertemu dengan nisan itu. Tatapan matanya

menyiratkan rasa penasaran yang luar biasa, apalagi terhadap aksara yang ada di

nisan itu.


Dengan rasa penasarannya, ia langsung memotret makam tersebut

kemudian mencatat lokasi penemuan tersebut dengan sangat detail. Tetapi saat ia

ingin pergi meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja siluet wanita ditangkap

oleh matanya. Kepalanya mendadak pusing, ia berusaha berjalan ke arah petugas

lain sembari menahan rasa pusing itu. Namun, rasa sakit itu berhasil mengalahkan

tekadnya, ia berakhir jatuh pingsan tepat di samping makam itu.

Matthew membuka matanya, berpikir ia kini tengah berada di tenda tempat

petugas lain beristirahat. Tapi saat matanya terbuka lebar, tempat ini terlihat asing

dan kuno. Bahkan terasa sangat asing baginya. Saat ia tengah berkecamuk dengan

isi kepalaku sendiri, seorang wanita tua menghampirinya. “Bagaimana keadaanmu,

Nak?” Suara lembut itu menggema di telinganya. Dengan tatapan bingung, ia

melihat sekeliling dan kemudian memutuskan untuk bertanya di mana dia saat ini.

“Kamu ada di rumah kami, maaf Mak membawa kamu ke sini. Tadi kamu

ditemukan tergeletak di tengah hutan oleh Abah,” jelas wanita tua itu. Banyak

pertanyaan muncul di kepalanya, bukankah masyarakat sudah dipastikan pindah

oleh Sam, selaku petugas humas. “Terima kasih, Buk. Karena sudah

menyelamatkan saya.” Matthew segera berdiri dari tempat ia terbaring tadi. Melihat

anak muda itu bangun tiba-tiba, wanita tua itu kembali menanyakan kembali

kondisi anak muda yang suaminya temukan saat perjalanan pulang setelah mencari

kayu bakar.

“Saya baik-baik saja, Buk. Tidak perlu khawatir, saya ucapkan terima–“

“Kamu sudah bangun, Nak?” Sebuah suara memotong kalimat Matthew. Ia

menoleh dan melihat seorang pria berdiri di ambang pintu—pasti suami Mak,

pikirnya. Matthew hanya mengangguk dan bersiap pamit, mengingat banyak tugas

yang harus ia selesaikan. Namun sebelum pergi, pria tua itu bertanya, “Kenapa

kamu bisa pingsan di hutan? Kamu dikejar tentara Belanda?” Pertanyaan itu

membuat Matthew tertegun. Perlahan ia mencoba mencerna ucapan itu. Dengan

wajah bingung, ia balik bertanya tentang lokasi dan tahun saat ini. Jawaban yang ia

terima sungguh mencengangkan, ia berada di masa penjajahan Belanda. “What the


hell?!”pikirnya. Matthew memperkenalkan diri dan menjelaskan alasannya berada

di hutan—ia menemukan sebuah nisan dengan aksara. Mendengar ceritanya,

pasangan itu percaya, terutama melihat pakaian Matthew yang tampak aneh dan tak

mereka kenali; bukan seperti bangsawan, juga bukan pribumi.

Abah menawarkan diri untuk membantu membaca tulisan di nisan jika

Matthew bersedia menunjukkannya. Matthew langsung mengeluarkan ponselnya,

tapi belum sempat memperlihatkan fotonya, terdengar suara dari luar,

“Assalamualaikum, Ayu pulang.” Seketika gerakannya terhenti. Tatapan Matthew

dan Ayu pun bertemu cukup lama, sebelum akhirnya Ayu beralih menatap kedua

orang tuanya dengan bingung. “Yu, ini Nak Matthew, yang Abah temukan di hutan

tadi,” jelas Mak.

Ayu mengangguk lalu pergi meninggalkan Matthew bersama kedua orang

tuanya dan memilih untuk masuk ke kamarnya. Mak memperkenalkan bahwa Ayu

adalah putri semata wayangnya yang kini menjadi seorang guru di daerah ini.

Melihat Matthew yang terus berdiri menatap jendela kayu yang penuh debu itu,

Abah menyarankan Matthew untuk tinggal di sini sementara waktu sembari

mencari caranya pulang dari zaman ini.

Pagi mulai menjelma, suara ribut di dapur membangunkan Matthew.

Ternyata aku masih di sini. Dua hari sudah ia berada di sini, setiap bangun

harapannya adalah kembali ke masa aslinya. Namun, itu tidak kunjung terwujud.


Selama dua hari itu pula ia terus mengikuti kegiatan Ayu mulai dari mengajar anak-

anak pagi hari, menulis pada lembaran-lembaran kertas pada sore hari diteras. Lalu,


membantu abah mencari kayu, dan menghabiskan waktu berbicara dengan Ayu dan

abah. Ia pun belajar aksara-aksara yang sama dengan foto nisan di ponselnya.

Sedikit demi sedikit ia mengerti arti dari aksara nisan yang ia temui.

Usai sarapan bersama, Ayu memutuskan untuk pamit pergi keluar rumah

membawa sebuah kotak kayu yang cukup besar, penasaran dengan apa yang

kegiatan yang akan ayu lakukan segera Matthew mengikutinya. Tidak sadar diikuti,

Ayu terus berjalan ke arah anak-anak yang kini duduk melingkar di atas rerumputan.


Matthew memutuskan untuk berhenti cukup jauh dari Ayu, ia kini hanya

memperhatikan Ayu dari jauh. Gadis dengan buku-buku yang ada di tangannya kini

memulai pembelajarannya pada hari ini. Ayu menulis sesuatu berbentuk sama

dengan bahasa yang ia di nisan. Ia ikut duduk di antara deretan anak-anak di sana.

Tak lama Matthew duduk, sekelompok tentara berkulit putih datang dan

menodongkan senjata ke arah Ayu. “Apa yang kalian mau?!” seru Ayu penuh

amarah. Mereka tak menjawab, malah berusaha menangkapnya. Matthew spontan

berdiri dan mencoba menolong, tapi tubuhnya seolah tak terlihat—setiap

langkahnya tak berarti. Saat itu, seorang murid Ayu berani mengganggu perhatian

tentara, memberi celah bagi Ayu untuk melarikan diri ke hutan sambil membawa

kotak kayu yang diselamatkannya.

Matthew mengikuti gadis itu, ia melihat Ayu menggali lubang besar lalu

memasukkan kotak tersebut dan kemudian menimbunnya. Usai melakukan hal itu,

ia melihat Matthew tengah menatap bingung ke arahnya. “Apa yang kau lakukan di

sini?” bentaknya. Sayang bentakan itu malah mengundang kedatangan tentara

Belanda. “U heeft zich ernstig misdragen door uitspraken te doen die niet stroken

met het overheidsbeleid. Wat u heeft gezegd is ronduit schokkend en

onaanvaardbaar.” (Kamu telah bertindak sangat keliru dengan menyampaikan

pernyataan yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Apa yang kamu

katakan sungguh mengejutkan dan tidak dapat diterima). Tentara itu berhasil

membekuk Ayu, tapi lagi-lagi ia melakukan perlawanan. Merasa Ayu tidak dapat

ditangkap secara baik-baik, akhirnya salah satu tentara membidik kepalanya. Di

hadapan Matthew kini Ayu meninggal dengan sangat mengenaskan.

Melihat darah mengalir, ia kembali merasakan pening pada kepalanya.

Tidak kuat menahan sakitnya, Matthew ikut jatuh terbaring di samping tubuh Ayu

yang kini hampir di ujung nafasnya. “Terima kasih, karena telah menyaksikan

kisahku,” ucapnya. Matthew ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu akibat

rasa sakit yang kuat di kepalanya. Saat itu, pandangan Matthew buram, dan benar

ia pingsan.


“Mat,” panggil seseorang. Matthew membuka matanya, ia terkejut melihat

temannya. Dengan cepat ia bangun lalu melihat ke semua arah. Ia masih di hutan

bersama nisan itu di sampingnya dengan aksara yang akhirnya ia pecahkan. “Kata

adalah nyawa yang tak bisa dibunuh. Jika tanahku diambil, biarkan sajakku hidup

selamanya.” Jadi nisan ini dibuat untuk mengenang Ayu. Lama sekali Matthew

menatap nisan itu, hingga ia kembali disadarkan oleh temannya. “Kok bisa pingsan,

Mat?” Alih-alih menjawab, Matthew malah berlari ke arah kontraktor, meminta

mereka menghentikan tugas mereka. Lalu, ia meminta tolong pada rekan kerjanya

untuk menggali tanah di samping nisan tersebut. Benar saja setelah di gali, Kotak

kayu yang lapuk itu ditemukan. Kotak itu di hancurkan dan ada berlapis-lapis kain

lapuk yang menutupi lembaran-lembaran kertas dengan aksara melayu lama di

dalamnya.

Matthew dan rekan kerjanya, memutuskan untuk menyerahkan temuan itu

kepada Balai Pelestarian Budaya. Di sana, mereka menjelaskan seluruh kronologi

dan menunjukkan nisan serta manuskrip yang ditemukan. Para ahli menyambutnya

dengan takjub—ternyata kotak itu berisi puisi-puisi perjuangan dan catatan

pendidikan dari seorang perempuan pribumi bernama Ayu, yang selama ini tak

pernah tercatat dalam sejarah resmi. Nisan itu pun akhirnya ditetapkan sebagai situs

budaya yang dilindungi, dan proyek jalan tol yang tadinya dirancang melintasi desa

itu dialihkan demi menghormati warisan yang ditemukan.

Bagi Matthew, pertemuan singkat dengan masa lalu itu mengubah cara

pandangnya terhadap budaya dan sejarah lokal. Ia memilih untuk meninggalkan

pekerjaannya sebagai pemetaan proyek dan menjadi peneliti serta pengarsip

naskah-naskah kuno Melayu. Setiap kali ia membaca kembali tulisan Ayu, ia tahu

bahwa kata-kata benar-benar bisa melampaui zaman—hidup dalam setiap sajak

yang tertulis, bahkan ketika penulisnya telah lama tiada. Kata memang adalah

nyawa yang tak bisa dibunuh.


~Selesai~

Posting Komentar

0 Komentar