Firma E. Hidayanti
WhatsApp. 089676530351 – RBM. Sinar Kreasi (Inhil)
JANTUNG INI BERDETAK HANYA UNTUKMU
“Kalau aku jadi kau, Mak Siti. Aku tidak akan bercita-cita begitu.”
Daratan itu masih menjadi oase bagi Masitah, meski ia berulang kali harus
menelan pahit-pahit cakap-cakap yang sesekali menulikan telinganya. Seperti pada
suatu siang yang juga sama seperti siang-siang yang lain. Masitah menjadi pekerja
yang pulang paling akhir setelah kata-kata mengenyangi amarahnya.
Tapi daratan itu akan selalu menjadi oase bagi Masitah. Daratan itu, yang
memilih merelakan diri terkoyak agar akar-akar tidak lagi mengandung dahaga.
Sesekali asap perun mengepul dan menari di sana serupa roh yang bangkit
menyengalkan napas agas-agas, juga tumpuk-tumpuk kelapa saling berbisik
tentang giliran siapa lebih dulu ditelanjangi solak yang berdiri tegak memancang
tajam ke langit. Bagi Masitah, daratan itu tidak hanya sebatas daratan, ia adalah
jantung dengan denyut-denyut membentuk garis kehidupan baginya.
“Tak usah kau dengar perkataan sembrono tadi, Siti,” ujar Masitah kepada
Siti. “Kau pintar. Kau pandai. Tidak sudi aku biarkan kau bekerja banting tulang.
Cukuplah aku,” sambungnya lagi.
Tiga puluh delapan tahun Masitah menjadi warga yang setia di
perkampungan itu. Sebuah desa kecil yang sesak dan terhimpit. Begitu sukar
ditemukan bola-bola kecil menggantung dan bercahaya di malam hari atau hanya
sebutir kerikil tercecer di jalan kering. Di sana rumah-rumah adalah bisikan masa
lalu yang enggan beranjak dengan orang-orang yang suka mengikat diri pada akar
pohon-pohon tua. Tidak banyak dari mereka yang lega menghabiskan waktu
menanam tunas baru di halaman lain. Sesekali Masitah merapal kata usang dan
kolot ketika ia berpikir kembali tentang kampungnya. Tetapi tetap saja, daratan itu
masih seperti oase baginya.
“Aku sudah bilang padamu, Mak Siti. Berulang-ulang. Tidak usah kau
bercita-cita begitu,” ujar Junai kepada Masitah pada suatu malam.
“Tapi Siti harus sekolah, Bang,” tegas Masitah.
“Mak Siti, Mak Siti.” Junai menggelengkan kepalanya. “Tidak ada gunanya
itu. Lebih baik kita tambah kebun kita saja,” sambungnya.
“Lalu? Kau mau apakan Siti setelah tamat ini? Kau suruh dia kawin, Bang?”
Sejujurnya Masitah muak dengan Junai—suaminya. Sejak pernikahannya
dua puluh tahun lalu percakapan selalu saja berlabuh pada dermaga yang dangkal.
Masitah kerap kali merasa sendiri jika itu menyangkut soalan masa depan hidup
dan barangkali itu pulalah yang senantiasa ia ingatkan kepada Siti untuk mencari
laki-laki yang setara. Supaya angan-anganmu tetap membentang seperti sayap yang
rapuh namun gigih dan doa-doamu tetap merayap sampai ke Yang Maha, begitu
katanya kepada Siti di suatu hari.
Namun, siapalah Masitah. Hanya seorang wanita dari tempat kecil yang
bercita-cita. Aku memang orang kecil dari tempat kecil, bukan berarti aku tidak
boleh menginginkan hal yang besar. Begitu yang sering diujarkan Masitah pada
dirinya setelah kekeringan dalam perdebatan atau sesekali usai menelan petuah
sembrono yang tidak ingin dia dengar.
“Mak Siti ini selalu saja pulang paling akhir.” Seseorang dari teras
menyapanya di waktu pulang siang itu. “Kelapa itu tidak akan bertambah, Mak Siti.
Mau sekeras apapun kau kerja, kalau cuma seribu butirnya, ya seribu itulah,”
sambungnya dan terkekeh.
“Dia itu Atan, Pak Unggal. Beda memang itu,” timpal seseorang yang lain.
Usang dan kolot. Kesimpulan itu yang senantiasa diakui Masitah jika itu
menyangkut orang-orang di kampungnya. Di sana orang-orang tidak boleh gigih
lebih dari siapapun. Kehidupan harus sama dan sesuai standardnya. Halah!
Standard tahi kucing, itu kemalasan umpat Masitah suatu hari. Orang-orang di
kampungnya memang gemar menguliti mimpi-mimpi baru. Bagi mereka,
perbedaan adalah aib dan langkah maju adalah kesombongan yang patut
direndahkan. Seperti siang itu yang juga sama seperti siang-siang lain, Masitah
digelari ‘Atan’. Nama laki-laki yang disematkan padanya hanya karena ia wanita
yang bekerja lebih keras dari pria yang sibuk mengoceh di teras siang itu daripada
mengisi hati anak bininya dengan kehangatan di rumah.
“Untuk masa depan Siti, Pak Unggal,” jawab Masitah sembari tersenyum
dan berlalu.
“Santailah sedikit, Mak Siti, memangnya apa yang dikejar? Ujung-ujungnya
masak gulai juga itu,” timpal Pak Unggal dengan suara yang semakin ke ujung
semakin kecil.
Masitah sesekali melirik Siti yang berjalan di belakangnya. Dia melihat
langkah anak perempuan semata wayangnya berjalan terseok-seok dengan napas
yang sengal. Gesekan sepatu dengan desain anti air yang kerap dipakai ke kebun
itu terdengar seperti bisikan penyesalan yang tidak berujung. Bahunya tidak tegak,
mirip seperti ranting patah yang menanggung beban kesalahan yang sepenuhnya
tidak ia pahami.
“Tidak usah kau dengar perkataan sembrono itu, Siti,” ujar Masitah. Siti
hanya diam saja.
Siang itu bukan kali pertama bagi Siti mendengar cemooh orang-orang
mengenai apa yang dilakukan Masitah untuknya. Siti juga sama, ia muak. Apalagi
ketika di rumah. Siti muak menyaksikan seorang pria yang suka terbuai dengan hari
ini dan hari esok. Nanti dipikir nanti saja, Siti. Begitu yang sering didengar Siti dari
mulut pria itu yang membuatnya semakin muak ketika ia memohon pria itu untuk
bekerja lebih keras daripada ibunya—Masitah. Satu kesimpulan bagi Siti, masa
depan bagi ayahnya adalah kabut samar-samar yang tidak pernah ingin ia tembus
seumur hidupnya, meski menurut Siti dan Masitah ayahnya mampu.
“Mak tidak penatkah?”
“Lebih penat bertahan dalam kemungkaran, Siti. Saat kau ingin melawan
lebih keras, tetapi kau dipaksa menerimanya jauh lebih keras,” ujar Masitah.
Masitah paham. Dia sudah tidak boleh memiliki gairah atas mimpi-mimpi
baru di usianya. Tentu saja, gairahnya hanya menciptakan cibiran dari prasangka-
prasangka yang Masitah anggap usang dan kolot di kampung. Namun, Masitah
tetaplah Masitah. Dia serupa pohon yang tidak lagi rimbun, tetapi akarnya dalam
mencengkram bumi. Prinsipnya menancam tajam tertanam, menopang segala
langkah beraninya. Dia mampu membangun istana sendiri tanpa uluran siapapun
yang dapat merenggut kemerdekaan jiwanya. Itulah Masitah.
Begitu pula dengan idenya menyekolahkan Siti. Masitah tidak ingin Siti
berakhir seperti gadis-gadis di kampungnya yang sibuk menerka-nerka atas
ketidaktahuan setelah beralih menjadi ibu muda. Sibuk mengurusi antara ayunan
dan botol susu dan lincah menerka tangis dan tawa buah hati, jelas tampak bak
peramal sotoy. Sesekali berkumpul dan berbisik-bisik tentang lelaki siapa yang
paling di antara mereka.
Itulah yang senantiasa dimohon-mohonkan Masitah pada Junai untuk
menjadikan Siti berbeda. Seperti pada siang itu setelah percakapan dengan Siti
Masitah mendatangi Junai. Meskipun Masitah keras kepala dan meyakini
keputusannya, ia tetaplah seorang istri yang masih bersuami. Dia tahu rumah tangga
harus dibangun dengan komunikasi walaupun ia tahu hanya akan berujung pada
perdebatan yang berlabuh pada dermaga yang dangkal.
“Aku akan antar Siti ke Tembilahan. Dia akan kuliah jurusan guru,” kata
Masitah kepada Junai.
Junai menoleh. Sesaat kemudian dia panggil Siti untuk duduk di antara
mereka. “Kau mau kerja atau kuliah?” tanya Junai kepada Siti siang itu.
“Siti kau harus sekolah,” tegas Masitah.
Junai meminta Masitah untuk diam. Junai tekankan bahwa Siti harus
memilih sesuai dengan kehendaknya. Namun, Masitah menentang. Siti masih
delapan belas tahun. Mengerti apa anak delapan belas tahun tentang masa depan.
“Kau orang tua. Orang tua harus mengarahkan yang terbaik untuk anak. Siti
belum mengerti dunia ini bekerja sepenuhnya. Kau terdengar seperti tidak punya
kepedulian untuk anak sendiri.” Masitah mengatakan kalimat itu dengan nada yang
berapi-api. Junai hanya bisa terdiam. Dahinya mengerut. Air mukanya masam.
Tentu. Junai juga sama kerasnya.
“Biarlah aku di sini, Mak seperti yang telah ada di sini.”
Kalimat itu memangkas habis kesabaran Masitah siang itu. Matanya
memerah sesaat. Dia tarik napasnya dalam-dalam, kemudian ia katakan, “Aku
sudah siapkan uang kau kuliah, Siti. Aku sudah bukakan kau jalannya. Tidak usah
kau memilih berdiam di tempat kecil ini,” ujar Masitah memohon. “Kau pintar. Kau
pandai. Tidak sudi aku biarkan kau bekerja banting tulang. Cukuplah aku, Siti.
Cukuplah aku,” sambungnya lagi.
Masitah beranjak ke arah Junai. Dia bersimpuh. Dia tarik tangan Junai ke
dada kirinya. “Dapatkah kau rasakan denyut jantungku ini? Dia bergetar takut
setiap aku bayangkan Siti terjebak di kampung ini, Bang.”
Masitah terhenti sejenak. Dia melangkah ke jendela. Di bukanya jendela
selebar-lebarnya. “Kau ingin Siti seperti mereka?” tanyanya sembari menunjuk
anak perempuan yang sibuk mengurus bayi-bayi mereka yang menangis, sementara
suaminya sibuk menyeruput kopi dan bersandar dengan kaki yang diangkat satu.
“Lihat baik-baik. Kau suka dengan hidup yang seperti itu?” Masitah
kembali bersimpuh di hadapan Junai. Ditariknya tangan Junai ke dada kirinya.
“Selagi jantungku masih berdetak di sini, Bang. Tak akan kubiarkan ia berakhir
sama dengan aku, dengan gadis-gadis di sini. Aku akan antarkan dia ke kota.”
Masitah beranjak kepada Siti, “Kau tak usah khawatir, Siti. Aku
mengikrarkan janjiku di atas kakiku sendiri. Kau akan selamat dari keusangan ini
dan jantungku ini.” Masitah menunjuk dada kirinya, “aku ikrarkan berdetak hanya
untukmu, Siti.”
Pekanbaru, 04.25
0 Komentar