SAMA DENGAN SAMA - Ghazy Athaillah Ali



 SAMA DENGAN SAMA

karya: Ghazy Athaillah Ali

SMP IT Imam An Nawawi Pekanbaru


Tidak ada yang berubah saat ini. Sudah bertahun-tahun lamanya ku

tinggalkan tempat bermain kelereng saat bocah dahulu. Tertawa terbahak-bahak

dengan teman tanpa ada beban dalam hati. Memang masa itu telah ku lalui.

Namun, senantiasa membekas dalam hati dan terbayang dalam lintas imajinasi

setiap hari. Saat ini aku sudah beranjak dewasa. Sudah tahu mana yang baik dan

mana yang buruk. Berbeda dengan dulu, yang dalam pikiran hanya bermain,

menggaduh teman, berkelahi, dan lebih parahnya lagi sering mencuri mainan atau

barang kesayangan kepunyaan temanku. Sangat miris tentunya bila diingat-ingat

dan dikenang.

Desaku yang begitu asri. Terlihat pepohonan tinggi menjulang. Anginnya

pun sejuk, menghembus sekujur tubuh saat pagi dan bahkan sampai malam

terkadang. Kondisi ku saat ini masih sama dengan saat masih bocah. Dulu kami

sangat menyukai salah satu warisan negeri pertiwi ini. Berbalas pantun namanya.

Saat ini berbalas pantun juga masih banyak digunakan tentunya. Aku, Andi, dan

Bima. Tiga orang bocah tengil yang selalu bersama saat itu. Kami sering berbalas

pantun di saat bermain. Maklum saja, kami sering mendengar orangtua kami

berbalas pantun apabila ada acara tertentu di desa kami.

Masa ke masa tentu saja bergulir. Perubahan bentuk fisik dan sifat kami

jelas terasa. Aku, Andi, dan Bima sudah dalam waktu yang lama sudah tidak

berjumpa. Selepas kami tamat SMA, kami bertiga memutuskan untuk

melanjutkan pendidikan kami di bangku perkuliahan. Bima memilih di luar

negeri, Andi dipaksa orangtuanya melanjutkan pendidikannya di ibukota negara.

Sedangkan, aku hanya duduk di bangku perkuliahan di pusat kota tempatku

tinggal dengan ibu dan bapak. Persahabatan kami tetap terjalin walau jarang

bersua. Begitu juga dengan tekad bulat kami dalam melestarikan budaya berbalas

pantun di desa kami.

Tekadku dan teman-teman masih lah sama. Tidak terlintas sedikitpun

untuk mengubur mimpi itu saat ini. Tiap kami pulang ke desa kami selalu terbesit

untuk segera mewujudkannya. Aku dan teman-teman senantiasa berkumpul di

tempat sederhana yang sering kami jadikan tempat bermain saat dulu. Pondokan

sederhana beratapkan anyaman daun kelapa. Diperkokoh dengan kayu jati sebagai

rangkanya. Hujan deras ataupun terik matahari yang menyengat tak akan mampu

menggoyahkan pondok itu. Sampai saat ini masih sangat kuat. Hanya saja yang

berubah warnanya saja. Tapi, pondokan adalah tempat favorit kami.

Hari ini aku berencana mendiskusikan dan meremukkan kembali mimpi

kecil kami bersama. Aku sudah membuat janji dengan teman-teman. Matahari

sangat kejam. Teriknya matahari membuat guyuran keringat bercucuran di

tubuhku. Angin semilir hanya sesekali melewati. Tidak lama berselang Andi dan

Bima datang dari arah selatan. Terlihat mereka mengendarai sepeda motor butut

milik ayah Andi. Sangat kocak tingkah mereka. Sepintas lalu aku teringat saat

mereka berdua saling berboncengan menggunakan sepeda saat bocah. Sama

halnya dengan sekarang.

“Andi...Bima..ayo cepat! Aku sudah lama menunggu kalian.” Pekikku

dari arah pondok memanggil mereka.

Mereka segera menuju pondok dan meletakkan sepeda motor di dekat

pohon jambu yang selalu melindungi pondok dari sinar matahari langsung. Baju

kemeja kotak-kotak membalut tubuh kurus Andi. Dia terlihat gagah

mengenakannya. Kalau Bima seperti biasa dengan kaos oblong warna hitam.

Mereka berdua tampak sangat lebih dewasa dari sebelumnya.

“Kalian kok lama datangnya?” tanyaku menatap Andi dan Bima penuh

keseriusan.

“Hehehe...maaf kami tadi singgah dulu di warung Bu Mina.” jawab Bima

sambil ketawa kecil.

“Iya... tadi kami beli rokok dulu. Aku terasa hampa kalau tidak menghisap

rokok” sambung Andi dan mengeluarkan sebungkus rokok dari kantung

celananya.

Kami tidak punya waktu lagi untuk bermain-main. Kami harus segera

menyelesaikan pekerjaan yang sudah lama kami rancang ini. Budaya berbalas

pantun harus tetap lestari di kampung kami. Sebab, semua itu sudah menjadi

tradisi sejak turun-temurun. Sudah menjadi budaya dalam kebiasaan hidup

masyarakat di desa kami. Dengan berbalas pantun tidak saja bisa mengekpresikan

diri. Berbalas pantun juga bisa menjadi ajang mengenalkan budaya lokal pada

dunia.

“Jadi bagaimana kelanjutan rencana kita? Apakah akan ada perubahan

untuk rencana yang telah kita buat selama ini?” tanya Bima dengan muka

bertanya-tanya meminta kejelasan.

“Tenang saja, Bim! Semua rencana yang telah kita rancang akan tetap

berjalan seperti awalnya.” jelasku kembali pada Bima agar ia memahaminya.

“Aku sudah membuat progam-progam agar budaya berbalas pantun tetap

terjaga dan lestari di desa kita ini. Aku membuat hal-hal yang sederhana yang bisa

diterapkan di desa ini dan bisa dilaksanakan oleh setiap kalangan tentunya.”

jelasku lagi pada teman-teman.

Matahari mulai semakin tinggi. Tepat di atas kepala. Teman-teman juga

kelihatannya sudah mulai lelah. Namun, semangat yang terpancar dari wajah

mereka semakin membuatku berapi-api dalam menerangkan semua progam kerja

kami. Bima bersender di sudut pondok sambil menulis-nulis beberapa bait pantun.

Sedangkan, Andi membantuku dalam menyusun strategi dengan program kami.

“Bim..kamu masih suka menulis pantun secara tiba-tiba, ya?” tanyaku

pada Bima yang terlalu asyik menulis pantun.

“Iya... di saat-saat senggang aku selalu melakukan kebiasaan kecilku ini.

Orang-orang sampai bertanya-tanya dan geleng-geleng padaku, karena aku bisa

membuat pantun dalam waktu yang singkat.” jelas Bima padaku panjang lebar.

“Kamu benar Bim. Kalau bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi

coba? Kita harus berani dan setia pada budaya kita yang telah tertanam dalam diri

kita sejak kecil.”

“Lalu, bagaimana dengan kamu Andi? Apakah kamu masih sering

diundang dalam acara-acara tertentu untuk mengisi acara tersebut dengan berbalas

pantun?” tanyaku kembali lagi pada Andi.

“Oh...kalau aku jangan kamu ragukan.” Andi berlagak dengan gaya

sedikit sombongnya.

“Hehehe...bukannya aku sombong. Aku masih sering kok diundang dalam

berbagai acara-acara untuk berbalas pantun. Seperti acara pernikahan, khitanan,

atau acara-acara pertemuan lainnya.” tambah Andi saat itu.

“Wah...ternyata kamu sangat beruntung. Coba bayangkan saja kalau kamu

setiap hari diundang untuk mengisi suatu acara dengan berbalas pantun, pastinya

kamu sudah banyak mendapatkan pundi-pundi kekayaan dan secara otomatis

budaya berbalas pantun semakin dikenal di semua kalangan. Baik kalangan biasa

sampai kalangan yang luar biasa.” aku merasa kagum dengan Andi yang bisa

mengenalkan pantun di luar desa kami.

Hal-hal yang dilakukan oleh Bima dan Andi tentunya tidak terlepas dari

rasa keinginan kami untuk melestarikan budaya berbalas pantun. Memang

keinginan kami ini terdengar kampungan kalau dinilai dari sisi perkembangan

zaman yang sudah sangat pesat. Namun, walaupun terdengar kampungan, budaya

berbalas pantun sangat sarat akan nilai-nilai moral yang penuh makna yang bisa

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya saja adalah pantun nasihat,

yang di dalamnya memuat kumpulan larik pantun yang mempunyai pesan-pesan

tertentu.

Arah jarum jam terus saja berganti-ganti. Itu semua terbukti dari jarum

jam yang ada pada arlojiku. Tanpa terasa kami bertiga sudah menghabiskan waktu

cukup lama di pondok. Abu rokok Andi juga sudah menumpuk tinggi dalam

asbak bambu yang terletak di pondok. Begitupun dengan Bima, ia telah banyak

menuliskan pantun dalam buku catatannya. Program-program yang kami susun

untuk melestarikan budaya berbalas pantun untuk desa kami juga sudah selesai.

Kami mempunyai target yang sederhana namun sangat efisien. Kami menargetkan

agar desa kami tetap menjaga dan melestarikan budaya berbalas pantun dan

mengajarkannya pada setiap generasi.

“Akhirnya...kita bisa juga menyelesaikan pekerjaan yang sudah lama

menumpuk di pikiran kita ini.” ujar Bima sambil meregangkan otot-otot

badannya.

“Kamu benar Bim, kita bisa tidur nyenyak nanti malam.” sambung Andi

kegirangan.

“Huss...jangan senang dulu teman-teman. Pekerjaan kita ini akan terus

berjalan. Kita harus memastikan program yang telah kita buat ini berjalan seperti

yang kita inginkan dan harapkan. Jangan sampai program ini hanya di atas kertas

saja, sehingga tidak membuahkan hasil nantinya.” jelasku pada teman-teman agar

tidak langsung senang.

Semua perkerjaan kami saat ini memanglah selesai. Namun, pastinya akan

selalu ada tantangan dan rintangan dalam menjalankannya. Dibutuhkan kesabaran

dan kegigihan agar berbalas pantun tetap lestari dan bahkan mendunia. Semuanya

tentunya dimulai dari diri kami sendiri. Kemudian berlanjut pada seluruh warga

desa tempat kami tinggal kami. Lalu, lambat laut akan kami kenalkan ke luar desa

sampai dunia tentunya. Itulah cita-cita kami semenjak kami masih seorang bocah

tengil.


~~~

Posting Komentar

0 Komentar