Kereta Menuju Rumah Paus Sastra - Fidela Nur Hafiz



 Kereta Menuju Rumah Paus Sastra


Pintu kereta rel listrik menutup dengan mulus setelah beberapa menit

terbuka membiarkan penumpang masuk. Gerbong kereta diisi beberapa orang yang

tidak terburu-buru menuju tujuan. Sekarang bukan jam-jam masuk kerja ataupun

pulang. Gerbong kereta terasa lebih manusiawi karena tiap penumpang masih bisa

mendapatkan tempat duduk. Bahkan, kursi prioritas dan beberapa kursi lainnya

terlihat kosong. Beberapa orang sibuk memainkan ponsel genggam mereka,

membaca berita pemerintah saat ini atau berita perselingkuhan artis, dua-tiga

menonton video pendek yang tersedia di satu aplikasi, yang lainnya mendengarkan

musik menggunakan penyuara telinga sambil memperhatikan jendela kereta,

beberapa memilih untuk tidur hingga stasiun tujuan, ataupun berbincang pelan

dengan teman seperjalanan.

“Jadi, lo sesuka itu, ya, sama buku?” Laki-laki berbaju hitam dengan celana

hitam di salah satu kursi bertanya kepada perempuan di sebelahnya sembari

mengikat tali sepatu putih miliknya yang sudah tidak putih itu. Perempuan yang

menjadi lawan bicaranya menghela napas malas. “Basi, ya?” tanyanya lagi dengan

senyuman canggung. “Sorry, namanya juga nyari topik. Oke! ganti-ganti. Kenapa

lo suka banget sama buku?” Kali ini dia bertanya dengan melihat perempuan di

sebelahnya, menunggu jawaban yang akan diberikan.

“Karena seru.”

“Wow... I never expected that answer, thank you banyak, lho.” Laki-laki

yang biasa dipanggil Aip itu menjawab dengan berlebihan mendengar jawaban

singkat dari perempuan di sebelahnya, yang sekarang menahan untuk tidak tertawa

lepas melihat ekspresi sakit hati Aip yang dibuat-buat.

“Karena buku keren.”

“Iya, terima kasih banyak jawabannya, Nona Isha. Sangat mind blowing,”

jawab Aip sarkas.

“Serius. Karena keren. Tulisan itu kaya tape recorder versi teks, kamera

versi teks. Dia merekam, menggambarkan juga, apa aja yang ada di zaman itu pakai

tulisan.”


Alis Aip berkerut mendengarkan Isha lalu menyengir seperti kuda

menunjukkan giginya. “Belum kebayang, Sha. Hehe.”

“cerita Malin Kundang dari Sumatera, Timun Mas dari Jawa Tengah,

Sangkuriang... dari mana?”

“Jawa Barat.”

“Emang iya?” tanya Isha tidak yakin.

“Iya. Gak percaya banget, sih. Gue anak IPS.” Aip mengepalkan tangannya

dan menepuk dadanya sendiri dengan bangga.

“Apa hubungannya?”

“Gak ada, sih. Yaa, diada-adain aja, lah, Sha. Lanjut, kenapa sama cerita

itu?”

“Cerita-cerita itu ‘kan isinya bukan buat hiburan aja. Ada pesan yang mau

dikasih tau, ‘kan? Kaya, gak boleh durhaka sama orang tua, harus jujur, gak boleh

sombong. Pesan-pesan lewat cerita itu jadi gambaran nilai yang dianut sama

masyarakat daerah yang bikin ceritanya.”

“Tapi, Sha, cerita-cerita daerah itu tadinya ‘kan gak ditulis? diomongin aja

‘kan dari orang tua ke anaknya. bukan bentuk buku, dong.”

“Nah, itu kerennya buku. Cerita-cerita daerah itu kalau gak dijadiin tulisan,

bakalan hilang kemakan waktu. Makanya gue bilang buku itu kaya rekaman zaman

dulu versi tulisan.”

Pengeras suara di tiap gerbong kereta berbunyi. Mengeluarkan suara

perempuan yang memberi tahu bahwa kereta akan segera berhenti di stasiun

berikutnya. Memperingatkan penumpang untuk memastikan tiap barang

bawaannya aman. Lalu pintu kereta terbuka dengan mulus. Beberapa penumpang

turun. Beberapa juga naik memasuki kereta. Isha dan Aip tetap tenang duduk di

kursinya. Belum stasiun tujuan. Pintu kereta tertutup kembali.

Aip mengambil napas, siap untuk bertanya kembali. Dia selalu suka

berdiskusi dengan perempuan di sebelahnya. “Kalau buku fiksi, misal Pramoedya

Ananta Toer, berarti juga ‘tape recorder’, ya?”


“Iya. Malah lebih kompleks dibanding cerita pendek rakyat, ‘kan?

Walaupun fiksi, tulisan-tulisan itu beneran ngasih tau apa yang terjadi di masa itu.

Pandangan bangsa kita kaya gimana, situasi politik sosial saat itu, dan lain-lain,

banyak, deh, karena biasanya buku itu ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya

atau pengamatan dia terhadap masyarakat. Malah kadang, tulisan fiksi bisa lebih

fakta dibandingkan sejarah yang ditulis.”

Aip mengangguk-angguk lalu menyandarkan kepalanya ke jendela kereta.

Dia menghela napas. Isha mengerutkan alisnya bingung. “Apa, sih? Tiba-tiba kaya

orang menyedihkan gitu?”

“Kasian sama Gadis Pantai.”

“Bukunya Pak Pram?”

Aip menangguk lagi. “Iya. Di bukunya ‘kan digambarin perempuan kaya

rendah banget. Terus, di zaman itu juga patriarkinya tinggi banget. Bukunya fiksi

tapi zaman dulu beneran kaya gitu, ‘kan.” Isha ikut menyandarkan kepalanya ke

jendela kereta sambil melihat lelaki di sebelahnya yang sering membuatnya heran

dengan tingkahnya itu.

“Lo baca Gadis Pantai?”

“Nggak. Gue cari di google semalem.”

“Kenapa?”

“Soalnya lo baca itu.” Isha menatap bingung. Aip yang menyadari hal itu

langsung menambahkan, “Karena bukunya Pramoedya juga di-film-in, ‘kan? Bumi

Manusia. Jadi gue nyari tau, deh. Keren, tuh, Si Minke. Dia ngegambarin karakter

bangsa kita yang melawan diskriminasi.”

Pintu kereta kembali terbuka. Ini sudah stasiun yang kesekian dilewati Aip

dan Isha. Penumpang yang naik bertambah lebih banyak dibandingkan stasiun

sebelumnya. Gerbong kereta tidak penuh tetapi cukup padat hingga membuat salah

satu pemuda di salah satu kursi berdiri memberikan kursinya kepada seorang ibu

yang menggandeng tangan anaknya. Anak kecil usia sekitar dua tahun itu

tersenyum mengucapkan terima kasih. Pintu kereta kembali tertutup.


“Ibunya keren.” Isha mengangkat jempolnya. Aip yang melihat itu tertawa

kecil.

“Bukan anaknya yang keren?”

“Anaknya bisa keren karena ibunya keren.”

“Hahaha iya. Oke, summary, Sha. Buku atau tulisan itu ‘tape recorder’ versi

teks. Yang bisa ngasih tau gambaran budaya masyarakat atau pandangan bangsa

kita terhadap sesuatu.” Isha menganggukkan kepalanya. “Makanya lo suka buku,

karena lo bisa liat banyak perspektif. lo berasa masuk ke zaman itu, ya?” Isha

menganggukkan kepalanya lagi. “Masuk akal.”

“Masuk akal, lah. Yang nggak masuk akal itu kenapa lo ikut gue?”

Aip tersenyum manis. “Nanti lo sendirian.”

“Emang kita mau ke mana?” tanya Isha tengil.

“Rumah Paus Sastra Indonesia.”

Isha sedikit terkejut. “Apa aja yang lo dapet dari hasil searching semalem,

sih?”

“Jadi, gini, Sha.” Aip membenarkan posisi duduknya, siap untuk

memaparkan hasil temuannya semalam. Sedetik setelah Isha memberi tahu nama

tempat tujuan yang akan dikunjungi mereka berdua, Aip langsung mencari tahu

terkait tempat itu. “Kita mau ke Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin yang

ada di Taman Ismail Marzuki. Beliau dapat julukan Paus Sastra Indonesia bukan

karena hal sepele, Sha.” Isha tersenyum geli melihat Aip yang menjelaskan dengan


berpura-pura seperti tour guide dan Isha sebagai pengunjung yang belum tahu apa-

apa.


“Karena apa, tuh, Kak Aip?”

“Karena beliau sangat berjasa, sangat sangat berkontribusi pada dunia sastra

di Indonesia. Beliau ini pengarang, penyunting, juga kritikus sastra. Ada banyak hal

keren yang dilakukan beliau. Salah satunya, mendokumentasikan karya sastra dari

zaman dulu sampai sastra yang bukan zaman dulu lagi.”

“Zaman modern, Aip.”


“Nah, iya itu, Sha. Kok gue tiba-tiba lupa kata, ya.” Isha tertawa kecil

melihat tingkah Aip.

Pintu kereta kembali terbuka. Aip dan Isha segera berdiri untuk keluar.

Mereka sudah sampai di stasiun transit yang terkenal dengan kepadatannya, Stasiun

Manggarai. Apalagi di jam-jam sibuk, Stasiun Manggarai bisa menjadi lautan

manusia yang bertransformasi seperti ombak, terburu-buru menuju pinggir peron

kereta agar setidaknya mendapatkan ruang untuk berdiri di dalam kereta. Namun,

karena sekarang bukan jam-jam sibuk, Stasiun Manggarai menjadi sedikit lebih

manusiawi. Aip dan Isha turun dan naik tangga menuju peron kereta, menunggu

kereta berikutnya yang akan membawa mereka ke stasiun tujuan.

“Menurut HB Jassin, sastra itu penting banget, Sha, karena menurut beliau,

bikin arsip sastra nggak cuman nyimpen tulisan aja tapi juga nyimpen identitas

bangsa. Makanya beliau sampe nyimpen semua sastra dari masa ke masa. Terus,

akhirnya dibikin tempat buat nyimpen hasil dokumentasinya, deh. Kita mau ke sana

sekarang.” Aip tersenyum bangga setelah menjelaskan hasil temuannya. Isha

bertepuk tangan kecil dengan sedikit takjub karena ternyata Aip bukan asal

mengikutinya saja, melainkan ikut peduli tentang perjalanan hari ini.

Kereta selanjutnya memasuki peron dengan pelan. Pintunya terbuka

membiarkan penumpang keluar dan masuk. Aip dan Isha memilih untuk berdiri di

tempat dekat pintu karena stasiun tujuan mereka berhenti tepat 2 menit setelah

stasiun transit, yaitu Stasiun Cikini. Seorang anak kecil yang menggunakan

seragam taman kanak-kanak di salah satu kursi meminta ibunya untuk

mengeluarkan buku cerita yang dipinjamkan gurunya. Aip tertawa kecil melihat itu.

Pintu kereta kembali terbuka. Aip dan Isha segera turun.

“Ayo, Sha. Kita udah dekat dari rumah Paus Sastra Indonesia.”

Posting Komentar

0 Komentar