Kereta Menuju Rumah Paus Sastra
Pintu kereta rel listrik menutup dengan mulus setelah beberapa menit
terbuka membiarkan penumpang masuk. Gerbong kereta diisi beberapa orang yang
tidak terburu-buru menuju tujuan. Sekarang bukan jam-jam masuk kerja ataupun
pulang. Gerbong kereta terasa lebih manusiawi karena tiap penumpang masih bisa
mendapatkan tempat duduk. Bahkan, kursi prioritas dan beberapa kursi lainnya
terlihat kosong. Beberapa orang sibuk memainkan ponsel genggam mereka,
membaca berita pemerintah saat ini atau berita perselingkuhan artis, dua-tiga
menonton video pendek yang tersedia di satu aplikasi, yang lainnya mendengarkan
musik menggunakan penyuara telinga sambil memperhatikan jendela kereta,
beberapa memilih untuk tidur hingga stasiun tujuan, ataupun berbincang pelan
dengan teman seperjalanan.
“Jadi, lo sesuka itu, ya, sama buku?” Laki-laki berbaju hitam dengan celana
hitam di salah satu kursi bertanya kepada perempuan di sebelahnya sembari
mengikat tali sepatu putih miliknya yang sudah tidak putih itu. Perempuan yang
menjadi lawan bicaranya menghela napas malas. “Basi, ya?” tanyanya lagi dengan
senyuman canggung. “Sorry, namanya juga nyari topik. Oke! ganti-ganti. Kenapa
lo suka banget sama buku?” Kali ini dia bertanya dengan melihat perempuan di
sebelahnya, menunggu jawaban yang akan diberikan.
“Karena seru.”
“Wow... I never expected that answer, thank you banyak, lho.” Laki-laki
yang biasa dipanggil Aip itu menjawab dengan berlebihan mendengar jawaban
singkat dari perempuan di sebelahnya, yang sekarang menahan untuk tidak tertawa
lepas melihat ekspresi sakit hati Aip yang dibuat-buat.
“Karena buku keren.”
“Iya, terima kasih banyak jawabannya, Nona Isha. Sangat mind blowing,”
jawab Aip sarkas.
“Serius. Karena keren. Tulisan itu kaya tape recorder versi teks, kamera
versi teks. Dia merekam, menggambarkan juga, apa aja yang ada di zaman itu pakai
tulisan.”
Alis Aip berkerut mendengarkan Isha lalu menyengir seperti kuda
menunjukkan giginya. “Belum kebayang, Sha. Hehe.”
“cerita Malin Kundang dari Sumatera, Timun Mas dari Jawa Tengah,
Sangkuriang... dari mana?”
“Jawa Barat.”
“Emang iya?” tanya Isha tidak yakin.
“Iya. Gak percaya banget, sih. Gue anak IPS.” Aip mengepalkan tangannya
dan menepuk dadanya sendiri dengan bangga.
“Apa hubungannya?”
“Gak ada, sih. Yaa, diada-adain aja, lah, Sha. Lanjut, kenapa sama cerita
itu?”
“Cerita-cerita itu ‘kan isinya bukan buat hiburan aja. Ada pesan yang mau
dikasih tau, ‘kan? Kaya, gak boleh durhaka sama orang tua, harus jujur, gak boleh
sombong. Pesan-pesan lewat cerita itu jadi gambaran nilai yang dianut sama
masyarakat daerah yang bikin ceritanya.”
“Tapi, Sha, cerita-cerita daerah itu tadinya ‘kan gak ditulis? diomongin aja
‘kan dari orang tua ke anaknya. bukan bentuk buku, dong.”
“Nah, itu kerennya buku. Cerita-cerita daerah itu kalau gak dijadiin tulisan,
bakalan hilang kemakan waktu. Makanya gue bilang buku itu kaya rekaman zaman
dulu versi tulisan.”
Pengeras suara di tiap gerbong kereta berbunyi. Mengeluarkan suara
perempuan yang memberi tahu bahwa kereta akan segera berhenti di stasiun
berikutnya. Memperingatkan penumpang untuk memastikan tiap barang
bawaannya aman. Lalu pintu kereta terbuka dengan mulus. Beberapa penumpang
turun. Beberapa juga naik memasuki kereta. Isha dan Aip tetap tenang duduk di
kursinya. Belum stasiun tujuan. Pintu kereta tertutup kembali.
Aip mengambil napas, siap untuk bertanya kembali. Dia selalu suka
berdiskusi dengan perempuan di sebelahnya. “Kalau buku fiksi, misal Pramoedya
Ananta Toer, berarti juga ‘tape recorder’, ya?”
“Iya. Malah lebih kompleks dibanding cerita pendek rakyat, ‘kan?
Walaupun fiksi, tulisan-tulisan itu beneran ngasih tau apa yang terjadi di masa itu.
Pandangan bangsa kita kaya gimana, situasi politik sosial saat itu, dan lain-lain,
banyak, deh, karena biasanya buku itu ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya
atau pengamatan dia terhadap masyarakat. Malah kadang, tulisan fiksi bisa lebih
fakta dibandingkan sejarah yang ditulis.”
Aip mengangguk-angguk lalu menyandarkan kepalanya ke jendela kereta.
Dia menghela napas. Isha mengerutkan alisnya bingung. “Apa, sih? Tiba-tiba kaya
orang menyedihkan gitu?”
“Kasian sama Gadis Pantai.”
“Bukunya Pak Pram?”
Aip menangguk lagi. “Iya. Di bukunya ‘kan digambarin perempuan kaya
rendah banget. Terus, di zaman itu juga patriarkinya tinggi banget. Bukunya fiksi
tapi zaman dulu beneran kaya gitu, ‘kan.” Isha ikut menyandarkan kepalanya ke
jendela kereta sambil melihat lelaki di sebelahnya yang sering membuatnya heran
dengan tingkahnya itu.
“Lo baca Gadis Pantai?”
“Nggak. Gue cari di google semalem.”
“Kenapa?”
“Soalnya lo baca itu.” Isha menatap bingung. Aip yang menyadari hal itu
langsung menambahkan, “Karena bukunya Pramoedya juga di-film-in, ‘kan? Bumi
Manusia. Jadi gue nyari tau, deh. Keren, tuh, Si Minke. Dia ngegambarin karakter
bangsa kita yang melawan diskriminasi.”
Pintu kereta kembali terbuka. Ini sudah stasiun yang kesekian dilewati Aip
dan Isha. Penumpang yang naik bertambah lebih banyak dibandingkan stasiun
sebelumnya. Gerbong kereta tidak penuh tetapi cukup padat hingga membuat salah
satu pemuda di salah satu kursi berdiri memberikan kursinya kepada seorang ibu
yang menggandeng tangan anaknya. Anak kecil usia sekitar dua tahun itu
tersenyum mengucapkan terima kasih. Pintu kereta kembali tertutup.
“Ibunya keren.” Isha mengangkat jempolnya. Aip yang melihat itu tertawa
kecil.
“Bukan anaknya yang keren?”
“Anaknya bisa keren karena ibunya keren.”
“Hahaha iya. Oke, summary, Sha. Buku atau tulisan itu ‘tape recorder’ versi
teks. Yang bisa ngasih tau gambaran budaya masyarakat atau pandangan bangsa
kita terhadap sesuatu.” Isha menganggukkan kepalanya. “Makanya lo suka buku,
karena lo bisa liat banyak perspektif. lo berasa masuk ke zaman itu, ya?” Isha
menganggukkan kepalanya lagi. “Masuk akal.”
“Masuk akal, lah. Yang nggak masuk akal itu kenapa lo ikut gue?”
Aip tersenyum manis. “Nanti lo sendirian.”
“Emang kita mau ke mana?” tanya Isha tengil.
“Rumah Paus Sastra Indonesia.”
Isha sedikit terkejut. “Apa aja yang lo dapet dari hasil searching semalem,
sih?”
“Jadi, gini, Sha.” Aip membenarkan posisi duduknya, siap untuk
memaparkan hasil temuannya semalam. Sedetik setelah Isha memberi tahu nama
tempat tujuan yang akan dikunjungi mereka berdua, Aip langsung mencari tahu
terkait tempat itu. “Kita mau ke Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin yang
ada di Taman Ismail Marzuki. Beliau dapat julukan Paus Sastra Indonesia bukan
karena hal sepele, Sha.” Isha tersenyum geli melihat Aip yang menjelaskan dengan
berpura-pura seperti tour guide dan Isha sebagai pengunjung yang belum tahu apa-
apa.
“Karena apa, tuh, Kak Aip?”
“Karena beliau sangat berjasa, sangat sangat berkontribusi pada dunia sastra
di Indonesia. Beliau ini pengarang, penyunting, juga kritikus sastra. Ada banyak hal
keren yang dilakukan beliau. Salah satunya, mendokumentasikan karya sastra dari
zaman dulu sampai sastra yang bukan zaman dulu lagi.”
“Zaman modern, Aip.”
“Nah, iya itu, Sha. Kok gue tiba-tiba lupa kata, ya.” Isha tertawa kecil
melihat tingkah Aip.
Pintu kereta kembali terbuka. Aip dan Isha segera berdiri untuk keluar.
Mereka sudah sampai di stasiun transit yang terkenal dengan kepadatannya, Stasiun
Manggarai. Apalagi di jam-jam sibuk, Stasiun Manggarai bisa menjadi lautan
manusia yang bertransformasi seperti ombak, terburu-buru menuju pinggir peron
kereta agar setidaknya mendapatkan ruang untuk berdiri di dalam kereta. Namun,
karena sekarang bukan jam-jam sibuk, Stasiun Manggarai menjadi sedikit lebih
manusiawi. Aip dan Isha turun dan naik tangga menuju peron kereta, menunggu
kereta berikutnya yang akan membawa mereka ke stasiun tujuan.
“Menurut HB Jassin, sastra itu penting banget, Sha, karena menurut beliau,
bikin arsip sastra nggak cuman nyimpen tulisan aja tapi juga nyimpen identitas
bangsa. Makanya beliau sampe nyimpen semua sastra dari masa ke masa. Terus,
akhirnya dibikin tempat buat nyimpen hasil dokumentasinya, deh. Kita mau ke sana
sekarang.” Aip tersenyum bangga setelah menjelaskan hasil temuannya. Isha
bertepuk tangan kecil dengan sedikit takjub karena ternyata Aip bukan asal
mengikutinya saja, melainkan ikut peduli tentang perjalanan hari ini.
Kereta selanjutnya memasuki peron dengan pelan. Pintunya terbuka
membiarkan penumpang keluar dan masuk. Aip dan Isha memilih untuk berdiri di
tempat dekat pintu karena stasiun tujuan mereka berhenti tepat 2 menit setelah
stasiun transit, yaitu Stasiun Cikini. Seorang anak kecil yang menggunakan
seragam taman kanak-kanak di salah satu kursi meminta ibunya untuk
mengeluarkan buku cerita yang dipinjamkan gurunya. Aip tertawa kecil melihat itu.
Pintu kereta kembali terbuka. Aip dan Isha segera turun.
“Ayo, Sha. Kita udah dekat dari rumah Paus Sastra Indonesia.”
0 Komentar