MELAYARI SASTRA, BERLABUH DI HATI
Karya Dhea Annisa Lubis
Arif menghela napas panjang. Matanya menatap dosen yang tengah bersemangat
menjelaskan materi algoritma di depan kelas. Namun pikirannya melayang entah ke
mana. Ia merasakan ketidaknyamanan yang mengganggu. Mata kuliah algoritma yang
biasanya menarik perhatiannya kini terasa membosankan. Ada sesuatu yang kosong
dalam hidupnya, tapi ia tak tahu apa.
"Jadi, algoritma search yang efisien akan ...."
Suara dosen terdengar samar di telinganya. Arif mengetuk-ngetukkan pensilnya
ke meja. Sebagai mahasiswa semester enam Teknik Informatika, ia terkenal sebagai
sosok yang brilian dalam pemrograman. Namun akhir-akhir ini, ia mulai merasa
hampa.
"Rif, kau kenapa sih?" bisik Dimas, teman sebangkunya. "Dari tadi melamun
terus."
Arif menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Dim. Hanya sedikit lelah."
Ketika kuliah usai, Arif berjalan tanpa tujuan di area kampus. Langkahnya
membawanya ke perpustakaan kampus yang jarang ia kunjungi. Biasanya, ia hanya
menghabiskan waktu di laboratorium komputer atau perpustakaan fakultas teknik.
Arif mendorong pintu perpustakaan. Aroma buku-buku tua langsung
menyambut indera penciumannya. Ia berjalan di antara rak-rak tinggi, hingga matanya
menangkap sosok yang membuatnya terpaku.
Di sudut ruangan, seorang gadis dengan jilbab berwarna kuning duduk tenang
dengan buku tebal di hadapannya. Wajahnya teduh, dengan senyum tipis yang sesekali
muncul saat membaca. Tangannya yang lentik menari di atas halaman buku, seolah
menelusuri setiap kata dengan penuh penghayatan.
Entah apa yang mendorong Arif, ia melangkah mendekat. Mungkin karena
penasaran dengan buku yang dibaca gadis itu, atau mungkin karena pesona yang
terpancar darinya.
"Permisi," Arif bersuara pelan. "Boleh saya duduk di sini?"
Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya yang bening menatap Arif dengan
kelembutan yang tak pernah ia temui sebelumnya.
"Silakan," jawabnya dengan logat Melayu yang kental.
Arif duduk di hadapannya, berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang
berdebar tidak karuan.
"Saya Arif, dari Teknik Informatika," ia memperkenalkan diri.
"Saya Zahra, dari Sastra Indonesia," jawab gadis itu dengan senyum yang
membuat Arif semakin terpesona.
Arif melirik buku yang dibaca Zahra. "Apa yang sedang kau baca?"
"Ini kumpulan gurindam karya Raja Ali Haji," jawab Zahra sambil
menunjukkan sampul buku. "Sastrawan besar dari Riau."
Arif mengangguk, meski sejujurnya ia tidak tahu apa itu gurindam. Ia tak
pernah tertarik dengan sastra. Baginya, kode-kode pemrograman jauh lebih menarik
daripada puisi atau prosa.
"Gurindam?" tanya Arif, berusaha menyembunyikan ketidaktahuannya.
Zahra tersenyum. "Gurindam adalah sejenis puisi Melayu yang berisi nasihat
atau petuah. Biasanya terdiri dari dua baris yang bersajak."
Arif mengangguk, berusaha terlihat tertarik meski dalam hati ia masih belum
paham.
"Kau suka sastra?" tanya Zahra.
"Ah, tidak terlalu," jawab Arif jujur. "Aku lebih suka algoritma dan koding."
Zahra tertawa kecil. "Sastra dan teknologi sebenarnya tidak begitu berbeda.
Keduanya adalah cara manusia berkomunikasi dan mengekspresikan diri."
Perkataan Zahra membuat Arif tertegun. Ia tak pernah memandang sastra dari
sudut pandang seperti itu.
"Mungkin kau benar," kata Arif. "Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang sastra."
"Tidak ada kata terlambat untuk belajar," jawab Zahra. "Sastra adalah cermin
budaya sekaligus identitas bangsa. Melalui sastra, kita bisa mengenal jati diri kita
sebagai bagian dari sebuah peradaban."
Pertemuan singkat itu menjadi awal dari perjalanan Arif mengenal dunia sastra.
Demi bisa lebih dekat dengan Zahra, ia mulai mengunjungi perpustakaan setiap hari.
Suatu hari, Arif memberanikan diri bertanya, "Bisakah kau mengajariku lebih
banyak tentang sastra Melayu?"
Zahra tersenyum. "Tentu saja. Tapi mengapa tiba-tiba tertarik?"
Arif tidak mungkin mengatakan bahwa ia ingin lebih dekat dengan Zahra. Ia
pun menjawab, "Aku ingin mengenal sastra dan budaya kita lebih dalam."
Sejak itu, mereka rutin bertemu. Zahra membimbing Arif mengenal pantun,
syair, gurindam, dan berbagai bentuk sastra Melayu lainnya. Ia menceritakan sejarah
kerajaan-kerajaan Melayu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam karya sastra, hingga
peran sastra dalam mempertahankan identitas bangsa.
Tanpa disadari, minat Arif terhadap sastra tumbuh secara alami. Ia mulai
membeli buku-buku sastra dan membacanya di waktu senggang. Bahkan, ia mencoba
menulis pantun sederhana yang mengundang tawa Zahra karena kepolosan bahasanya.
Suatu malam, saat mereka duduk di taman kampus setelah seharian belajar
bersama, Arif berkata, "Zahra, aku baru menyadari betapa indahnya sastra kita."
Zahra mengangguk. "Sastra adalah jendela untuk melihat ke dalam jiwa sebuah
bangsa. Melalui sastra, kita bisa memahami nilai-nilai yang dipegang teguh oleh nenek
moyang kita."
"Dan aku semakin memahami diriku sendiri," tambah Arif. "Sebelumnya, aku
hanya fokus pada teknologi dan ilmu pasti. Aku lupa bahwa aku juga bagian dari
sebuah bangsa dengan sejarah dan budaya yang kaya."
"Itulah mengapa sastra penting," kata Zahra. "Sastra mengingatkan kita akan
identitas kita di tengah arus globalisasi."
Arif menatap Zahra dengan penuh kekaguman. "Kau tahu, Zahra? Aku
bersyukur bertemu denganmu. Kau membukakan mataku tentang hal yang selama ini
kuabaikan."
Zahra tersenyum. Angin malam berhembus lembut, menerbangkan helaian
jilbab nya.
"Ada gurindam yang selalu kuingat," kata Zahra. "'Jika hendak mengenal orang
berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.' Menurutku, kau sudah memiliki keduanya,
Arif."
Perjalanan Arif dalam mengenal sastra berlanjut. Ia bahkan mengambil kelas
pilihan Sastra Melayu, sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Pengetahuannya tentang sastra justru memperkaya kemampuannya dalam
bidang informatika. Ia menciptakan aplikasi pengenalan sastra Indonesia yang
memadukan teknologi dengan kekayaan budaya.
Enam bulan setelah pertemuan pertama mereka, Arif dan Zahra duduk di tepi
Danau sejuk yang terletak di tengah kampus. Matahari senja menyinari air danau,
menciptakan pemandangan yang memukau.
"Zahra," panggil Arif dengan suara lembut. "Ada yang ingin kukatakan
padamu."
Zahra menatapnya dengan mata penasaran.
"Awalnya, aku mendekatimu karena tertarik padamu," aku Arif jujur. "Aku
belajar sastra sebagai alasan untuk bisa bertemu denganmu lebih sering."
Zahra terkejut mendengar pengakuan Arif.
"Tapi seiring waktu," lanjut Arif, "aku benar-benar jatuh cinta. Bukan hanya
padamu, tapi juga pada sastra. Kau membantuku menemukan bagian dari diriku yang
hilang."
Wajah Zahra merona. "Arif ... "
"Aku mencintaimu, Zahra. Dan aku berterima kasih kau telah membawaku
mengenal kekayaan budaya kita."
Zahra tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Arif. Dan aku senang kau
menemukan cinta pada sastra dan budaya kita."
Setiap orang belajar dengan cara dan motivasi yang berbeda, dan tidak ada
masalah akan hal itu. Selagi hal itu masih dalam ranah positif, tidak masalah bukan?
Sastra. Mungkin terlihat ribet dan tidak menyenangkan, tidak penting. Kau
mungkin memang tidak menyukai awalnya, namun semakin kau mengenalnya dan
lebih dekat pastilah hati mu tak bisa jauh darinya. Kau akan tenggelam lebih jauh dan
jatuh cinta padanya. Percayalah padaku dan buktikanlah.
0 Komentar