Nyawa yang Tak Dikenang: Jakarta, Lupa Asalnya - Chandra Kirana

 


Chandra Kirana (SMAN 102 Jakarta) 

Nyawa yang Tak Dikenang: Jakarta, Lupa Asalnya
di kampung yang perlahan kehilangan suara rebana; lalu langkah-langkah ditelan
aspal kota, & kita yang lahir dari gigi waktu, lupa pada darah yang berdetak, dari
lenong, ondel-ondel, hingga rima di tepi kali.

/Si Pitung yang Diam, 2025/
Ia bukan lagi legenda di lidah anak-anak;
namanya kini seperti mata uang lama yang tak laku di warung digital
padahal dahulu, tiap kisahnya adalah pelindung—bayang-bayang yang tegak
di tembok rumah dan hati warga.

Di jalanan yang makin sepi dari pantun,
kita mendengar denting tuts mesin lebih nyaring dari rebab tua
& syair yang biasa lahir di beranda kini terkubur
di gulungan story yang hilang sebelum sempat dikenang.

Mereka bilang budaya adalah warisan,
tapi siapa pewarisnya jika taka da yang mengingat rumah asalnya?
Betawi bukan hanya sambal dan sayur babanci
ia adalah air mata ibu saat anaknya tak bisa membedakan tanjidor dari orkes.

/Mak Gendut, 1980/
Kepada Mak Gendut;
kamu yang tak pernah lupa menepuk lesung sambil bersyair
kini suara itu berganti jadi sirine ambulans
dan cucumu lebih mengenal emoji ketimbang selawat.

Kami masih ingat caramu mendendangkan doa
di sela suara ulekan dan aroma semur jengkol,
kau ajarkan bahwa cinta tanah kelahiran
bisa lahir dari nyanyian sederhana di dapur petang.

Tapi, dengarlah:
puisi ini mencoba menyulam jejakmu dari retakan waktu
agar meski tak utuh, kami tahu arah pulang
meski sunyi, kami bisaa menyebut namamu dalam getar yang tulus.

/Kepada Generasi Masa Kini/
Kini, kami—generasi yang sering disebut “tak tahu akar”—
berusaha menggenggam sisa jejakmu, meski lewat layar.
Kami ingin menulis ulang Betawi, bukan di batu nisan,
melainkan di dada kami yang masih berdebar untuk tradisi.


Posting Komentar

0 Komentar