Pacu Jalur merupakan perlombaan tradisional dayung sampan berasal dari kabupaten Kuantan Singingi, provinsi Riau. Perlombaan biasanya diadakan di tepi sungai Kuantan. Sungai bukan hanya sekedar membelah daratan, namun juga sebagai nadi kehidupan yang memberi makan, menghubungkan kampung
kampung, sekaligus melahirkan tradisi yang telah berakar ratusan tahun. Kini, Pacu Jalur menjadi simbol kearifan lokal yang terus dijaga hingga saat ini terkenal di mata dunia.
Bagi masyarakat, sungai adalah halaman depan rumah mereka. Di sana, anak-anak mulai belajar renang sejak kecil, ibu-ibu mencuci pakaian, dan para nelayan membawa barang dari hulu ke hilir. Kehidupan sangat bergantung dengan sungai, sebab itulah perahu panjang pun lahir. Dahulunya, perahu ini hanya sebagai alat transportasi, namun perahu pun berkembang menjadi identitas budaya melalui ajang Pacu Jalur.
Dalam catatan sejarah dan kisah dari naskah lokal, Pacu Jalur mulai dikenal sejak abad 17. Awalnya, Pacu Jalur bukan hanya hiburan, namun juga bagian dari upacara penting kerajaan dan peringatan hari besar agama Islam. Perahu sengaja dibuat panjang, ramping, dan diukir indah, melambangkan kemakmuran serta kekuatan solidaritas yang dimilikinya. Setiap desa akan merasa bangga jika berhasil membuat perahu terbaik, dan mampu untuk menang dalam perlombaan.
Beberapa minggu sebelum perlombaan dimulai, suasana desa-desa disepanjang sungai Kuantan berubah ramai. Warga bersama-sama bergotong royong menyiapkan perahu mereka. Kayu gelondong dipilih dari hutan, biasanya mereka menggunakan yang kuat dan tahan air, seperti kayu kulim atau kayu meranti. Perahu bisa mencapai panjang 25 sampai 30 meter, sehingga memerlukan puluhan orang untuk mendayung.
Setelah selesai dibentuk, perahu juga tidak dibiarkan polos. Para pengrajin desa melukis motif-motif unik dari ujung kepala, hingga ornamen kecilnya. Motif yang dipilih untuk perahu disesuaikan dengan kepercayaan dan ciri khas dari masing-masing desa, ada yang bermotif bunga, burung, bahkan naga. Perahu juga sengaja diwarnai mencolok, hingga tampak anggun di atas air. Namanya juga bukan sembarang nama. Biasanya, nama perahu penuh dengan doa dan makna filosofis, seperti Inai Kencana, Tuah Negeri, atau Rajo Alam.
Dengan selesainya proses persiapan serta latihan pada malam menjelang perlombaan, tim dari masing-masing desa siap mendayung diatas lintasan sungai. Pagi hari pun tiba, suasana di sepanjang sungai Kuantan terasa begitu ramai. Bendera-bendera dikibarkan, seluruh penonton Pacu Jalur ikut memeriahkan. Hakim ditugaskan untuk menurunkan bendera merah di sana, menandakan perahu siap dilepaskan. Para penari di bagian depan, tengah, dan belakang berguna untuk menjaga kekompakan dengan meniupkan peluit sesuai irama.
Namun, di balik senyum dan tawanya, Pacu Jalur mengalami tantangan modernisasi. Anak muda di zaman sekarang banyak yang tidak tertarik dengan perlombaan ini. Sudah jarang sekali anak muda yang ingin menjadi pendayung perahu. Walaupun saat ini Pacu Jalur sedang mendunia, namun ini dikhawatirkan akan mengurangi semangat dalam membuat perahu.
Kerusakan alam juga sangat berpengaruh. Kayu gelondong yang dahulunya mudah ditemukan, sekarang sangat langkah. Padahal, tanpa kayu yang tepat, perahu tidak dapat dibuat. Di sisi lain, biaya pembuatan perahu serta mengikuti perlombaan juga tidak sedikit.
Namun, masyarakat Kuantan Singingi tidak tinggal diam. Pemerintah daerah bersama masyarakat menjadikan Pacu Jalur sebagai agenda tahunan yang masuk dalam kalender wisata nasional. Dengan begitu, wisatawan dari luar daerah bahkan mancanegara bisa menikmati perlombaan.
Karena itu, selagi air sungai masih mengalir, selagi kayu perahu masih dapat dibentuk, selagi masih ada anak muda yang mau mendayung, Pacu Jalur akan tetap abadi. Bukan sekedar perlombaan, tetapi juga sebagai simbol
persatuan, gotong royong, dan cinta tanah air yang takkan pernah hilang oleh waktu.
.png)
0 Komentar