Arus Sungai Kuantan - Rayhan Anugrah Pratama

 


Arus Sungai Kuantan
Karya: Rayhan Anugrah Pratama

Pacu Jalur merupakan perlombaan tradisional dayung sampan berasal dari  kabupaten Kuantan Singingi, provinsi Riau. Perlombaan biasanya diadakan di tepi  sungai Kuantan. Sungai bukan hanya sekedar membelah daratan, namun juga  sebagai nadi kehidupan yang memberi makan, menghubungkan kampung 

kampung, sekaligus melahirkan tradisi yang telah berakar ratusan tahun. Kini,  Pacu Jalur menjadi simbol kearifan lokal yang terus dijaga hingga saat ini terkenal  di mata dunia. 

Bagi masyarakat, sungai adalah halaman depan rumah mereka. Di sana,  anak-anak mulai belajar renang sejak kecil, ibu-ibu mencuci pakaian, dan para  nelayan membawa barang dari hulu ke hilir. Kehidupan sangat bergantung  dengan sungai, sebab itulah perahu panjang pun lahir. Dahulunya, perahu ini  hanya sebagai alat transportasi, namun perahu pun berkembang menjadi identitas  budaya melalui ajang Pacu Jalur. 

Dalam catatan sejarah dan kisah dari naskah lokal, Pacu Jalur mulai  dikenal sejak abad 17. Awalnya, Pacu Jalur bukan hanya hiburan, namun juga  bagian dari upacara penting kerajaan dan peringatan hari besar agama Islam.  Perahu sengaja dibuat panjang, ramping, dan diukir indah, melambangkan  kemakmuran serta kekuatan solidaritas yang dimilikinya. Setiap desa akan merasa  bangga jika berhasil membuat perahu terbaik, dan mampu untuk menang dalam  perlombaan. 

Beberapa minggu sebelum perlombaan dimulai, suasana desa-desa  disepanjang sungai Kuantan berubah ramai. Warga bersama-sama bergotong  royong menyiapkan perahu mereka. Kayu gelondong dipilih dari hutan, biasanya  mereka menggunakan yang kuat dan tahan air, seperti kayu kulim atau kayu  meranti. Perahu bisa mencapai panjang 25 sampai 30 meter, sehingga  memerlukan puluhan orang untuk mendayung.

Setelah selesai dibentuk, perahu juga tidak dibiarkan polos. Para pengrajin  desa melukis motif-motif unik dari ujung kepala, hingga ornamen kecilnya. Motif  yang dipilih untuk perahu disesuaikan dengan kepercayaan dan ciri khas dari  masing-masing desa, ada yang bermotif bunga, burung, bahkan naga. Perahu juga  sengaja diwarnai mencolok, hingga tampak anggun di atas air. Namanya juga  bukan sembarang nama. Biasanya, nama perahu penuh dengan doa dan makna  filosofis, seperti Inai Kencana, Tuah Negeri, atau Rajo Alam. 

Dengan selesainya proses persiapan serta latihan pada malam menjelang  perlombaan, tim dari masing-masing desa siap mendayung diatas lintasan sungai. Pagi hari pun tiba, suasana di sepanjang sungai Kuantan terasa begitu  ramai. Bendera-bendera dikibarkan, seluruh penonton Pacu Jalur ikut  memeriahkan. Hakim ditugaskan untuk menurunkan bendera merah di sana,  menandakan perahu siap dilepaskan. Para penari di bagian depan, tengah, dan  belakang berguna untuk menjaga kekompakan dengan meniupkan peluit sesuai  irama. 

Namun, di balik senyum dan tawanya, Pacu Jalur mengalami tantangan  modernisasi. Anak muda di zaman sekarang banyak yang tidak tertarik dengan  perlombaan ini. Sudah jarang sekali anak muda yang ingin menjadi pendayung  perahu. Walaupun saat ini Pacu Jalur sedang mendunia, namun ini dikhawatirkan  akan mengurangi semangat dalam membuat perahu. 

Kerusakan alam juga sangat berpengaruh. Kayu gelondong yang  dahulunya mudah ditemukan, sekarang sangat langkah. Padahal, tanpa kayu yang  tepat, perahu tidak dapat dibuat. Di sisi lain, biaya pembuatan perahu serta  mengikuti perlombaan juga tidak sedikit. 

Namun, masyarakat Kuantan Singingi tidak tinggal diam. Pemerintah  daerah bersama masyarakat menjadikan Pacu Jalur sebagai agenda tahunan yang  masuk dalam kalender wisata nasional. Dengan begitu, wisatawan dari luar daerah  bahkan mancanegara bisa menikmati perlombaan. 

Karena itu, selagi air sungai masih mengalir, selagi kayu perahu masih  dapat dibentuk, selagi masih ada anak muda yang mau mendayung, Pacu Jalur  akan tetap abadi. Bukan sekedar perlombaan, tetapi juga sebagai simbol 

persatuan, gotong royong, dan cinta tanah air yang takkan pernah hilang oleh  waktu.



Posting Komentar

0 Komentar