Suatu pagi di SD 1 Nusa Bangsa dimulai dengan suara langkah kaki para murid yang memasuki kelas masing-masing. Udara lembap dan aroma tanah basah setelah hujan semalam membuat suasana terasa sejuk. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang guru muda bernama Ira melangkah perlahan menuju kelasnya. Wajahnya teduh, matanya tenang, dan di tangannya tergenggam sebatang kapur putih. Seperti biasa, sebelum pelajaran dimulai, ia menulis satu kalimat di papan tulis: “Bahasa adalah cermin dari hati manusia.”
Murid-murid membacanya dengan pelan, beberapa bahkan menirukannya dengan suara kecil. Ira tersenyum melihat mereka. Ia tahu, mungkin mereka belum benar-benar memahami arti kalimat itu sekarang, tapi suatu hari nanti, ketika dewasa, kata-kata itu akan tumbuh di hati mereka seperti benih kecil yang pelan-pelan berakar.
Sebagai guru bahasa Indonesia, Ira menyadari bahwa pekerjaannya bukan sekadar mengajarkan huruf kapital, tanda baca, atau struktur kalimat. Ia merasa bahasa adalah jalan menuju jati diri. Namun, di tengah arus zaman yang serba cepat, ia melihat bagaimana anak-anak mulai kehilangan hubungan dengan kata-kata yang bermakna. Mereka terbiasa berbicara dengan singkatan, menulis dengan tergesa, dan berpikir dalam kalimat-kalimat pendek yang kering dari perasaan terutama.
****
Ketika Ira membaca karangan seorang murid yang hanya terdiri dari tiga kalimat: “Aku bangun. Aku sekolah. Aku capek.” Ia menatap lembaran itu lama. Tidak ada kesalahan ejaan, tidak ada kekeliruan struktur. Tapi ada sesuatu
yang hilang yaitu rasa. Bahasa yang seharusnya menghidupkan, kini terasa datar seperti air tanpa gelombang. Ia menatap jendela, melihat langit sore yang berwarna keemasan, lalu berbisik dalam hati, “Kapan anak-anak terakhir kali menulis dengan hati?” Sejak hari itu, Ira memutuskan untuk mengubah cara mengajarnya. Ia tidak lagi hanya memberi soal tata bahasa. Ia ingin anak-anak merasakan kembali hangatnya bercerita dengan kata-kata.
****
Keesokan paginya, ia berdiri di depan kelas dan berkata dengan semangat, “Anak-anak, minggu ini kalian akan menulis tentang sesuatu yang kalian sayangi. Apa pun itu orang, tempat, hewan, atau benda yang paling berarti bagi kalian. Tapi tulislah dengan hati, bukan sekadar tulisan.”
Kelas mendadak riuh. Ada yang ingin menulis tentang ibunya, tentang sawah di belakang rumah, bahkan tentang layangan yang tak pernah putus talinya. Ira hanya tersenyum. Ia tahu, tugas itu akan melahirkan sesuatu yang berbeda. ****
Minggu berikutnya, tumpukan kertas memenuhi mejanya. Ia membaca satu per satu, dan di setiap tulisan, ia menemukan dunia yang hidup. Ada kisah tentang seorang ayah yang bekerja keras tanpa pernah mengeluh, tentang nenek yang selalu membuat kue di pagi hari, tentang hujan yang turun bersama kenangan masa kecil. Kalimat-kalimat itu mungkin sederhana, tapi jujur. Ada kehangatan yang tidak bisa ditemui dalam buku pelajaran mana pun. Saat membaca, Ira tanpa sadar menitikkan air mata. Ia sadar, bahasa ternyata masih berdenyut di hati anak-anak, hanya butuh ruang untuk kembali bernapas.
****
Beberapa bulan kemudian, datanglah pejabat pendidikan dari kota. Dengan jas rapi dan suara tegas, ia menilai hasil karya anak-anak di papan pameran kelas. “Bagus,” katanya datar, “tapi terlalu emosional. Anak-anak perlu belajar menulis dengan lebih formal dan modern. Bahasa harus mengikuti
zaman.” Ira menatapnya tenang. “Boleh saya berpendapat, Pak?” tanyanya lembut. Pejabat itu mengangguk singkat. “Menurut saya, bahasa yang baik bukan sekadar formal, tapi yang bisa menyentuh hati. Kalau mereka menulis dengan jujur, berarti mereka telah memahami makna sejati bahasa.”
Lelaki itu terdiam sejenak. Mungkin ia tidak terbiasa mendengar bahasa yang dipadukan dengan cinta. Namun bagi Ira, mempertahankan kejujuran dalam kata adalah perjuangan yang tak kalah penting dari aturan bahasa baku.
Ira mengumpulkan karya-karya muridnya dan menjilidnya menjadi sebuah buku kecil berjudul “Cerita dari Sekolah Kecil.” Buku itu dicetak sederhana di toko fotokopi, dengan sampul berwarna cokelat muda dan huruf huruf yang tidak rapi. Namun ketika ia memajangnya di aula sekolah, orang tua datang dengan bangga. Mereka membaca tulisan anak-anak mereka dan terharu. Ada yang tertawa, ada yang menangis pelan.
“Saya tidak tahu anak saya bisa menulis seindah ini, Bu,” ucap salah satu ibu murid dengan mata yang berkaca-kaca. Ira hanya tersenyum. Ia tahu, di balik kalimat polos anak-anak itu tersimpan cinta yang murni, dan cinta itu adalah bentuk paling tulus dari bahasa.
Kabar tentang pameran kecil itu menyebar hingga ke kota. Sebuah universitas mengundangnya untuk berbicara dalam seminar bertema “Bahasa dan Identitas Nasional.” Dengan langkah gemetar, Ira berdiri di depan podium dan berkata, “Bahasa bukan sekadar alat untuk berbicara. Bahasa adalah cara kita mengingat. Di dalam setiap kata ada doa, ada kenangan, dan ada budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika kita berhenti menulis dan berbicara dengan hati, maka kita berhenti menjadi manusia yang utuh.” Ruangan itu hening. Lalu tepuk tangan bergema panjang. Ira menunduk, bukan karena bangga, tapi karena haru. Ia merasa perjuangannya tidak sia-sia.
****
Tahun-tahun berlalu. Rambut Ira mulai memutih, langkahnya semakin pelan, tapi semangatnya tak pernah padam. Di rak kayu rumahnya masih tersusun rapi buku-buku karya murid-muridnya. Kertasnya menguning, tapi setiap kalimat di dalamnya masih hidup. Suatu sore, seorang pemuda datang mengetuk pintu
rumahnya. Wajahnya tidak asing di mata Ira. Ia murid lama Ira, kini telah menjadi penulis muda.
“Bu, saya datang membawa ini,” katanya sambil menyerahkan buku dengan tangan gemetar. Di sampulnya tertulis nama sang murid, Putra Angkasa. “Buku ini terbit karena Ibu. Karena tugas Ibu dulu yang menyuruh kami menulis tentang hal yang kami sayangi.” Ira tersenyum lembut. “Kata adalah benih,
Angkasa. Kalau ditanam dengan cinta, ia akan tumbuh menjadi pohon yang tak lekang waktu.”
Mereka duduk di beranda, menatap langit senja yang memerah. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah dan kenangan masa lalu. Ira memejamkan mata sejenak, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Ia tahu, selama masih ada yang menulis dengan hati, bahasa tidak akan pernah mati. Dan selama bahasa hidup, warisan budaya bangsa akan terus abadi.
Di sekolah kecil tempatnya dulu mengajar, sebuah papan tulis masih tergantung di dinding kelas. Di atasnya, dengan kapur putih yang mulai pudar, tertulis kalimat peninggalan Ira: “Bahasa adalah cermin dari hati manusia. Dan hati yang jujur akan selalu dikenang.”
TAMAT
.png)
0 Komentar