Cerita dari Sekolah Kecil - Siti Nur Ma’rufa

 


Cerita dari Sekolah Kecil 
Karya: Siti Nur Ma’rufa 

Suatu pagi di SD 1 Nusa Bangsa dimulai dengan suara langkah kaki  para murid yang memasuki kelas masing-masing. Udara lembap dan aroma tanah  basah setelah hujan semalam membuat suasana terasa sejuk. Di tengah hiruk  pikuk itu, seorang guru muda bernama Ira melangkah perlahan menuju kelasnya.  Wajahnya teduh, matanya tenang, dan di tangannya tergenggam sebatang kapur  putih. Seperti biasa, sebelum pelajaran dimulai, ia menulis satu kalimat di papan  tulis: “Bahasa adalah cermin dari hati manusia.” 

Murid-murid membacanya dengan pelan, beberapa bahkan  menirukannya dengan suara kecil. Ira tersenyum melihat mereka. Ia tahu,  mungkin mereka belum benar-benar memahami arti kalimat itu sekarang, tapi  suatu hari nanti, ketika dewasa, kata-kata itu akan tumbuh di hati mereka seperti  benih kecil yang pelan-pelan berakar. 

Sebagai guru bahasa Indonesia, Ira menyadari bahwa pekerjaannya  bukan sekadar mengajarkan huruf kapital, tanda baca, atau struktur kalimat. Ia  merasa bahasa adalah jalan menuju jati diri. Namun, di tengah arus zaman yang  serba cepat, ia melihat bagaimana anak-anak mulai kehilangan hubungan dengan  kata-kata yang bermakna. Mereka terbiasa berbicara dengan singkatan, menulis  dengan tergesa, dan berpikir dalam kalimat-kalimat pendek yang kering dari  perasaan terutama. 

**** 

Ketika Ira membaca karangan seorang murid yang hanya terdiri dari  tiga kalimat: “Aku bangun. Aku sekolah. Aku capek.” Ia menatap lembaran itu  lama. Tidak ada kesalahan ejaan, tidak ada kekeliruan struktur. Tapi ada sesuatu 

yang hilang yaitu rasa. Bahasa yang seharusnya menghidupkan, kini terasa datar  seperti air tanpa gelombang. Ia menatap jendela, melihat langit sore yang  berwarna keemasan, lalu berbisik dalam hati, “Kapan anak-anak terakhir kali  menulis dengan hati?” Sejak hari itu, Ira memutuskan untuk mengubah cara  mengajarnya. Ia tidak lagi hanya memberi soal tata bahasa. Ia ingin anak-anak  merasakan kembali hangatnya bercerita dengan kata-kata.  

**** 

Keesokan paginya, ia berdiri di depan kelas dan berkata dengan  semangat, “Anak-anak, minggu ini kalian akan menulis tentang sesuatu yang  kalian sayangi. Apa pun itu orang, tempat, hewan, atau benda yang paling berarti  bagi kalian. Tapi tulislah dengan hati, bukan sekadar tulisan.” 

Kelas mendadak riuh. Ada yang ingin menulis tentang ibunya, tentang  sawah di belakang rumah, bahkan tentang layangan yang tak pernah putus talinya.  Ira hanya tersenyum. Ia tahu, tugas itu akan melahirkan sesuatu yang berbeda. **** 

Minggu berikutnya, tumpukan kertas memenuhi mejanya. Ia membaca  satu per satu, dan di setiap tulisan, ia menemukan dunia yang hidup. Ada kisah  tentang seorang ayah yang bekerja keras tanpa pernah mengeluh, tentang nenek  yang selalu membuat kue di pagi hari, tentang hujan yang turun bersama  kenangan masa kecil. Kalimat-kalimat itu mungkin sederhana, tapi jujur. Ada  kehangatan yang tidak bisa ditemui dalam buku pelajaran mana pun. Saat  membaca, Ira tanpa sadar menitikkan air mata. Ia sadar, bahasa ternyata masih  berdenyut di hati anak-anak, hanya butuh ruang untuk kembali bernapas. 

**** 

Beberapa bulan kemudian, datanglah pejabat pendidikan dari kota.  Dengan jas rapi dan suara tegas, ia menilai hasil karya anak-anak di papan  pameran kelas. “Bagus,” katanya datar, “tapi terlalu emosional. Anak-anak perlu  belajar menulis dengan lebih formal dan modern. Bahasa harus mengikuti 

zaman.” Ira menatapnya tenang. “Boleh saya berpendapat, Pak?” tanyanya  lembut. Pejabat itu mengangguk singkat. “Menurut saya, bahasa yang baik bukan  sekadar formal, tapi yang bisa menyentuh hati. Kalau mereka menulis dengan  jujur, berarti mereka telah memahami makna sejati bahasa.” 

Lelaki itu terdiam sejenak. Mungkin ia tidak terbiasa mendengar bahasa  yang dipadukan dengan cinta. Namun bagi Ira, mempertahankan kejujuran dalam  kata adalah perjuangan yang tak kalah penting dari aturan bahasa baku. 

Ira mengumpulkan karya-karya muridnya dan menjilidnya menjadi  sebuah buku kecil berjudul “Cerita dari Sekolah Kecil.” Buku itu dicetak  sederhana di toko fotokopi, dengan sampul berwarna cokelat muda dan huruf huruf yang tidak rapi. Namun ketika ia memajangnya di aula sekolah, orang tua  datang dengan bangga. Mereka membaca tulisan anak-anak mereka dan terharu.  Ada yang tertawa, ada yang menangis pelan. 

“Saya tidak tahu anak saya bisa menulis seindah ini, Bu,” ucap salah  satu ibu murid dengan mata yang berkaca-kaca. Ira hanya tersenyum. Ia tahu, di  balik kalimat polos anak-anak itu tersimpan cinta yang murni, dan cinta itu adalah  bentuk paling tulus dari bahasa. 

Kabar tentang pameran kecil itu menyebar hingga ke kota. Sebuah  universitas mengundangnya untuk berbicara dalam seminar bertema “Bahasa dan  Identitas Nasional.” Dengan langkah gemetar, Ira berdiri di depan podium dan  berkata, “Bahasa bukan sekadar alat untuk berbicara. Bahasa adalah cara kita  mengingat. Di dalam setiap kata ada doa, ada kenangan, dan ada budaya yang  diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika kita berhenti menulis  dan berbicara dengan hati, maka kita berhenti menjadi manusia yang utuh.” Ruangan itu hening. Lalu tepuk tangan bergema panjang. Ira menunduk, bukan  karena bangga, tapi karena haru. Ia merasa perjuangannya tidak sia-sia. 

****

Tahun-tahun berlalu. Rambut Ira mulai memutih, langkahnya semakin  pelan, tapi semangatnya tak pernah padam. Di rak kayu rumahnya masih tersusun  rapi buku-buku karya murid-muridnya. Kertasnya menguning, tapi setiap kalimat  di dalamnya masih hidup. Suatu sore, seorang pemuda datang mengetuk pintu 

rumahnya. Wajahnya tidak asing di mata Ira. Ia murid lama Ira, kini telah menjadi  penulis muda. 

“Bu, saya datang membawa ini,” katanya sambil menyerahkan buku  dengan tangan gemetar. Di sampulnya tertulis nama sang murid, Putra Angkasa.  “Buku ini terbit karena Ibu. Karena tugas Ibu dulu yang menyuruh kami menulis  tentang hal yang kami sayangi.” Ira tersenyum lembut. “Kata adalah benih, 

Angkasa. Kalau ditanam dengan cinta, ia akan tumbuh menjadi pohon yang tak  lekang waktu.” 

Mereka duduk di beranda, menatap langit senja yang memerah. Angin  sore berembus pelan, membawa aroma tanah dan kenangan masa lalu. Ira  memejamkan mata sejenak, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Ia tahu,  selama masih ada yang menulis dengan hati, bahasa tidak akan pernah mati. Dan  selama bahasa hidup, warisan budaya bangsa akan terus abadi. 

Di sekolah kecil tempatnya dulu mengajar, sebuah papan tulis masih  tergantung di dinding kelas. Di atasnya, dengan kapur putih yang mulai pudar,  tertulis kalimat peninggalan Ira: “Bahasa adalah cermin dari hati manusia. Dan  hati yang jujur akan selalu dikenang.” 

                                                            TAMAT


Posting Komentar

0 Komentar