Provinsi Riau adalah tanah yang sarat dengan aroma sejarah dan napas Melayu yang menenangkan. Di tepian Sungai Siak, di antara hamparan sawah dan lengkung sungai yang berliku lembut, tersimpan pusaka tak ternilai, budaya daerah yang menjadi identitas sekaligus jiwa masyarakatnya. Kekayaan budayanya terwujud dari filosofi mendalam “Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah,” yang artinya adat bersumber pada ajaran Islam. Sayangnya, di tengah gemuruh modernisasi dan hiruk pikuk kehidupan digital, gema budaya itu mulai meredup. Banyak warisan Riau yang luar biasa kini mulai berada di ambang kelenyapan. Ini bukan hanya masalah hilangnya benda-benda kuno, tetapi juga putusnya hubungan pengetahuan antara generasi tua dan muda. Tradisi yang dahulu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya kini kian jarang ditemukan, bahkan nyaris tidak dikenali oleh sebagian anak muda. Padahal, setiap tarian, alat musik, dan rumah adat yang dimiliki masyarakat Riau bukan sekadar warisan benda, tetapi wujud nilai, kearifan, dan jati diri bangsa. Aset berharga ini hanya tersimpan di buku tebal yang jarang dibuka. Pelestarian budaya bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan investasi jangka panjang bagi identitas bangsa. Enam unsur budaya Riau berikut patut kita abadikan dan lestarikan karena merupakan bukti nyata yang menyimpan seluruh sejarah peradaban yang sayangnya telah tersingkirkan dari kesadaran publik.
Kekayaan budaya Melayu Riau bagaikan lukisan indah yang tersusun dari berbagai elemen, dari bangunan megah hingga tarian lembut. Namun, kemajuan zaman menggerus nilainya. Enam inti budaya berikut ini menandai kondisi kritis Riau, dan memahaminya menjadi langkah awal menghidupkan kembali maknanya di era modern.
1. Tari Joged Bontek: Gerak Ceria yang Kian Terlupa
Tari Joged Bontek berasal dari Desa Tanjung Padang, Merbau, Kepulauan Meranti, dan dikenal juga di Bengkalis sebagai warisan Suku Asli. Dahulu ditampilkan pada panen raya, pesta, pernikahan, dan penyambutan tamu. Geraknya meliputi sembah, goyang kiri-kanan, melenggang, menggeser, dan double step, diiringi gong, gendang bebano, dan biola. Penari mengenakan kebaya mencolok, kain panjang, dan selendang sederhana. Ciri khasnya, penonton dapat ikut menari dalam tradisi “ngebeng” atau bertandak. Kini tarian ini jarang ditampilkan, namun tetap diajarkan karena mencerminkan keseimbangan antara kerja keras dan sukacita, simbol jiwa masyarakat Riau yang riang dan bersahaja.
2. Genggong Talang Mamak: Bunyi Bambu dari Masa Silam
Genggong Talang Mamak adalah alat musik tradisional suku Talang Mamak di Riau. Alat musik yang terbuat dari bambu atau pelepah daun enau ini, pernah menjadi latar senja di rumah-rumah Melayu. Alat ini dimainkan dengan cara digetarkan ( atau tiup ) di mulut hingga menghasilkan bunyi berdengung seperti dengusan lebah. Ia bukan alat musik mewah, namun menyimpan keindahan yang halus, menggambarkan kesederhanaan dan ketenangan hidup orang kampung. Dahulu, Genggong sering dimainkan untuk mengisi waktu luang atau bagian dari ritual tertentu. Kini, genggong hampir tak terdengar lagi. Di tengah hiruk pikuk musik modern dan suara gawai, alat ini kehilangan tempat. Menurut catatan Dinas Kebudayaan Riau (2024), hanya tersisa kurang dari 10 perajin genggong tradisional di seluruh provinsi Riau. Mereka kebanyakan sudah berusia lanjut dan tidak memiliki penerus. Namun, beberapa komunitas seni di Siak dan Rokan Hulu berusaha menghidupkannya kembali. Genggong kini diajarkan di sanggar anak anak, bukan hanya sebagai alat musik, tetapi sebagai sarana menumbuhkan kesabaran, ketekunan, dan cinta terhadap tradisi.
3. Lagu Anak “Igat”: Nasihat Masa Kecil yang Tak Lagi Terdengar
Kata igat merujuk pada ‘ingat’ atau ‘nasihat’. Liriknya ringan, nadanya riang, namun menyimpan pesan moral tentang kebersamaan dan rasa syukur. Melodi dan iramanya bersahaja dan mudah diikuti. Lagu ini menjadi bagian dari permainan rakyat, dinyanyikan bersama sambil menepuk tangan atau berputar melingkar.
Lirik secara keseluruhan menyampaikan pesan moral kepada anak-anak agar bersikap baik. Bahasa yang digunakan adalah dialek Melayu Riau, dengan kata kata yang khas seperti “budak cingkelat”, “ngelat”, “kuumpat” yang memberi
75% siswa SD di kota Pekanbaru tidak mengenal satu pun lagu tradisional daerah Riau. Ini bukan sekadar kehilangan lagu, tetapi kehilangan sebagian identitas budaya masa kecil. Serta nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lirik lagu-lagu tradisional, seperti Lagu Igat, ikut terkikis dari karakter anak-anak.
4. Bolu Berendam : Jejak Manis Warisan Raja dari Tanah Riau
Bolu Berendam atau Bolu Beghondam adalah kue tradisional khas Rengat, Indragiri Hulu. Kue kecil berbentuk tampuk manggis ini dibuat dari cetakan bunga. Nama “berendam” berasal dari prosesnya, yakni setelah dipanggang, bolu direndam dalam larutan gula dan direbus dengan api kecil hingga meresap sempurna. Pada masa Kesultanan Melayu, kue ini hanya disajikan untuk bangsawan, namun kini dihidangkan pada Hari Raya, pernikahan, dan acara penting lainnya. Bolu Berendam telah memperoleh hak paten dan rekor MURI sebagai pengakuan keasliannya. Sayangnya, modernisasi membuatnya mulai ditinggalkan. Padahal, kue ini menyimpan nilai sejarah, budaya, dan cita rasa khas Melayu yang menjadi bagian penting dari warisan kuliner Riau.
5. Pakaian Adat Riau: Keanggunan yang Kian Jarang Terlihat
Pakaian adat Riau yang dikenal umum terbatas pada Baju kurung Cekak Musang dan Kebaya Laboh. Padahal, Riau memiliki raga, busana adat yang jauh lebih detail, terutama pakaian yang digunakan dalam tata cara upacara adat yang kini jarang dilakukan. Contohnya adalah varian Baju Kurung Kuntum dengan sulaman emas atau setelan Baju Sikap dengan Kain Samping yang memiliki makna lipatan berbeda untuk acara-acara tertentu. Dahulu, busana ini dikenakan pada setiap acara penting—pernikahan, kenduri, bahkan pertemuan adat. Namun kini, pakaian adat lebih sering disimpan di lemari, hanya dikenakan saat acara resmi atau peringatan hari kebudayaan. Generasi muda lebih memilih busana modern yang dianggap praktis. Padahal, di setiap jahitan dan tenunan songket tersimpan filosofi luhur tentang kehormatan, kesantunan, dan keindahan budi pekerti. Meski demikian, masih ada harapan. Beberapa desainer muda Riau kini berinovasi
dengan menggabungkan elemen pakaian adat ke dalam busana modern. Mereka menciptakan baju kurung kontemporer atau tanjak kasual yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ini menjadi bukti bahwa pelestarian budaya tidak berarti memenjarakan diri dalam masa lalu, tetapi menyatu dengan zaman tanpa kehilangan akar.
6. Rumah Lontiok: Arsitektur yang Menyimpan Jiwa Melayu
Rumah Lontiok adalah karya seni arsitekur tradisional masyarakat Kampar, Riau. Bentuk atapnya yang melengkung ke atas di kedua ujung menyerupai haluan dan buritan perahu layar tradisional disebut “lentik” atau “lontiok”, melambangkan keseimbangan dan kelenturan hidup. Rumah ini biasanya terbuat dari kayu pilihan seperti meranti atau tembesu, disusun tanpa paku, melainkan dengan sistem pasak yang rumit namun kuat. Bagian dalamnya memiliki ruang tamu luas untuk menerima tamu dengan sopan, sementara ruang tengah menjadi tempat berkumpul keluarga. Sayangnya, rumah lontiok kini mulai tergantikan oleh bangunan beton. Banyak masyarakat menganggapnya kuno dan tidak praktis. Padahal, rumah lontiok dirancang dengan kearifan ekologis luar biasa seperti sirkulasi udara yang baik, tahan panas, dan ramah lingkungan.
Keenam bagian penting budaya Riau ini hanya sedikit dari beragamnya kebudayaan yang ada di Riau. Pelestarian budaya Riau tidaklah mudah. Tantangannya datang dari berbagai arah, dari kemajuan teknologi yang menggeser tradisi, urbanisasi yang menyingkirkan nilai-nilai lokal, serta sikap tidak peduli generasi muda terhadap warisan tanah air ini. Untungnya, kesadaran untuk melestarikan budaya mulai tumbuh. Pemerintah daerah memasukkan pelajaran budaya lokal ke sekolah, menggelar festival budaya di berbagai daerah, dan memanfaatkan media sosial untuk memperkenalkan kebudayaan. Langkah kecil ini menunjukkan bahwa budaya bukan benda mati, tetapi sesuatu yang terus hidup dan menyesuaikan diri dengan zaman. Dan semoga keenam budaya Riau diatas dan budaya-budaya Riau lainnya akan selalu melekat di jiwa anak bangsa. Selama nurani masih mengenal asal, budaya takkan padam. Ia hidup dalam hati yang setia pada warisan leluhur, sebab “Takkan Melayu Hilang di Bumi.”
.png)
0 Komentar