Menjaga Nyala Warisan Budaya Riau yang Hampir Punah - ISHANA ZEELFA UTAMI PUTRI

 


Menjaga Nyala Warisan Budaya Riau yang Hampir Punah
Karya: ISHANA ZEELFA UTAMI PUTRI

Provinsi Riau adalah tanah yang sarat dengan aroma sejarah dan napas  Melayu yang menenangkan. Di tepian Sungai Siak, di antara hamparan sawah dan  lengkung sungai yang berliku lembut, tersimpan pusaka tak ternilai, budaya  daerah yang menjadi identitas sekaligus jiwa masyarakatnya. Kekayaan  budayanya terwujud dari filosofi mendalam “Adat Bersendikan Syarak, Syarak  Bersendikan Kitabullah,” yang artinya adat bersumber pada ajaran Islam. Sayangnya, di tengah gemuruh modernisasi dan hiruk pikuk kehidupan digital,  gema budaya itu mulai meredup. Banyak warisan Riau yang luar biasa kini mulai  berada di ambang kelenyapan. Ini bukan hanya masalah hilangnya benda-benda  kuno, tetapi juga putusnya hubungan pengetahuan antara generasi tua dan muda.  Tradisi yang dahulu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya kini kian  jarang ditemukan, bahkan nyaris tidak dikenali oleh sebagian anak muda. Padahal,  setiap tarian, alat musik, dan rumah adat yang dimiliki masyarakat Riau bukan  sekadar warisan benda, tetapi wujud nilai, kearifan, dan jati diri bangsa. Aset  berharga ini hanya tersimpan di buku tebal yang jarang dibuka. Pelestarian budaya  bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan investasi jangka panjang bagi identitas  bangsa. Enam unsur budaya Riau berikut patut kita abadikan dan lestarikan karena  merupakan bukti nyata yang menyimpan seluruh sejarah peradaban yang  sayangnya telah tersingkirkan dari kesadaran publik. 

Kekayaan budaya Melayu Riau bagaikan lukisan indah yang tersusun dari  berbagai elemen, dari bangunan megah hingga tarian lembut. Namun, kemajuan  zaman menggerus nilainya. Enam inti budaya berikut ini menandai kondisi kritis  Riau, dan memahaminya menjadi langkah awal menghidupkan kembali maknanya  di era modern. 

1. Tari Joged Bontek: Gerak Ceria yang Kian Terlupa 

Tari Joged Bontek berasal dari Desa Tanjung Padang, Merbau, Kepulauan  Meranti, dan dikenal juga di Bengkalis sebagai warisan Suku Asli. Dahulu  ditampilkan pada panen raya, pesta, pernikahan, dan penyambutan tamu.  Geraknya meliputi sembah, goyang kiri-kanan, melenggang, menggeser, dan double step, diiringi gong, gendang bebano, dan biola. Penari mengenakan kebaya  mencolok, kain panjang, dan selendang sederhana. Ciri khasnya, penonton dapat  ikut menari dalam tradisi “ngebeng” atau bertandak. Kini tarian ini jarang  ditampilkan, namun tetap diajarkan karena mencerminkan keseimbangan antara  kerja keras dan sukacita, simbol jiwa masyarakat Riau yang riang dan bersahaja. 

2. Genggong Talang Mamak: Bunyi Bambu dari Masa Silam 

Genggong Talang Mamak adalah alat musik tradisional suku Talang Mamak di  Riau. Alat musik yang terbuat dari bambu atau pelepah daun enau ini, pernah  menjadi latar senja di rumah-rumah Melayu. Alat ini dimainkan dengan cara  digetarkan ( atau tiup ) di mulut hingga menghasilkan bunyi berdengung seperti  dengusan lebah. Ia bukan alat musik mewah, namun menyimpan keindahan yang  halus, menggambarkan kesederhanaan dan ketenangan hidup orang kampung. Dahulu, Genggong sering dimainkan untuk mengisi waktu luang atau bagian dari  ritual tertentu. Kini, genggong hampir tak terdengar lagi. Di tengah hiruk pikuk  musik modern dan suara gawai, alat ini kehilangan tempat. Menurut catatan Dinas  Kebudayaan Riau (2024), hanya tersisa kurang dari 10 perajin genggong  tradisional di seluruh provinsi Riau. Mereka kebanyakan sudah berusia lanjut dan  tidak memiliki penerus. Namun, beberapa komunitas seni di Siak dan Rokan Hulu  berusaha menghidupkannya kembali. Genggong kini diajarkan di sanggar anak anak, bukan hanya sebagai alat musik, tetapi sebagai sarana menumbuhkan  kesabaran, ketekunan, dan cinta terhadap tradisi.  

3. Lagu Anak “Igat”: Nasihat Masa Kecil yang Tak Lagi Terdengar 

Kata igat merujuk pada ‘ingat’ atau ‘nasihat’. Liriknya ringan, nadanya riang,  namun menyimpan pesan moral tentang kebersamaan dan rasa syukur. Melodi dan  iramanya bersahaja dan mudah diikuti. Lagu ini menjadi bagian dari permainan  rakyat, dinyanyikan bersama sambil menepuk tangan atau berputar melingkar. 

Lirik secara keseluruhan menyampaikan pesan moral kepada anak-anak agar  bersikap baik. Bahasa yang digunakan adalah dialek Melayu Riau, dengan kata kata yang khas seperti “budak cingkelat”, “ngelat”, “kuumpat” yang memberi 

75% siswa SD di kota Pekanbaru tidak mengenal satu pun lagu tradisional daerah  Riau. Ini bukan sekadar kehilangan lagu, tetapi kehilangan sebagian identitas  budaya masa kecil. Serta nilai-nilai luhur yang terkandung dalam lirik lagu-lagu  tradisional, seperti Lagu Igat, ikut terkikis dari karakter anak-anak. 

4. Bolu Berendam : Jejak Manis Warisan Raja dari Tanah Riau 

Bolu Berendam atau Bolu Beghondam adalah kue tradisional khas Rengat,  Indragiri Hulu. Kue kecil berbentuk tampuk manggis ini dibuat dari cetakan  bunga. Nama “berendam” berasal dari prosesnya, yakni setelah dipanggang, bolu  direndam dalam larutan gula dan direbus dengan api kecil hingga meresap  sempurna. Pada masa Kesultanan Melayu, kue ini hanya disajikan untuk  bangsawan, namun kini dihidangkan pada Hari Raya, pernikahan, dan acara  penting lainnya. Bolu Berendam telah memperoleh hak paten dan rekor MURI  sebagai pengakuan keasliannya. Sayangnya, modernisasi membuatnya mulai  ditinggalkan. Padahal, kue ini menyimpan nilai sejarah, budaya, dan cita rasa khas  Melayu yang menjadi bagian penting dari warisan kuliner Riau. 

5. Pakaian Adat Riau: Keanggunan yang Kian Jarang Terlihat 

Pakaian adat Riau yang dikenal umum terbatas pada Baju kurung Cekak Musang dan Kebaya Laboh. Padahal, Riau memiliki raga, busana adat yang jauh lebih  detail, terutama pakaian yang digunakan dalam tata cara upacara adat yang kini  jarang dilakukan. Contohnya adalah varian Baju Kurung Kuntum dengan sulaman  emas atau setelan Baju Sikap dengan Kain Samping yang memiliki makna lipatan  berbeda untuk acara-acara tertentu. Dahulu, busana ini dikenakan pada setiap  acara penting—pernikahan, kenduri, bahkan pertemuan adat. Namun kini, pakaian  adat lebih sering disimpan di lemari, hanya dikenakan saat acara resmi atau  peringatan hari kebudayaan. Generasi muda lebih memilih busana modern yang  dianggap praktis. Padahal, di setiap jahitan dan tenunan songket tersimpan filosofi  luhur tentang kehormatan, kesantunan, dan keindahan budi pekerti. Meski  demikian, masih ada harapan. Beberapa desainer muda Riau kini berinovasi 

dengan menggabungkan elemen pakaian adat ke dalam busana modern. Mereka  menciptakan baju kurung kontemporer atau tanjak kasual yang bisa digunakan  dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ini menjadi bukti bahwa pelestarian budaya  tidak berarti memenjarakan diri dalam masa lalu, tetapi menyatu dengan zaman  tanpa kehilangan akar. 

6. Rumah Lontiok: Arsitektur yang Menyimpan Jiwa Melayu 

Rumah Lontiok adalah karya seni arsitekur tradisional masyarakat Kampar, Riau.  Bentuk atapnya yang melengkung ke atas di kedua ujung menyerupai haluan dan  buritan perahu layar tradisional disebut “lentik” atau “lontiok”, melambangkan  keseimbangan dan kelenturan hidup. Rumah ini biasanya terbuat dari kayu pilihan  seperti meranti atau tembesu, disusun tanpa paku, melainkan dengan sistem pasak  yang rumit namun kuat. Bagian dalamnya memiliki ruang tamu luas untuk  menerima tamu dengan sopan, sementara ruang tengah menjadi tempat berkumpul  keluarga. Sayangnya, rumah lontiok kini mulai tergantikan oleh bangunan beton.  Banyak masyarakat menganggapnya kuno dan tidak praktis. Padahal, rumah  lontiok dirancang dengan kearifan ekologis luar biasa seperti sirkulasi udara yang baik, tahan panas, dan ramah lingkungan.  

Keenam bagian penting budaya Riau ini hanya sedikit dari beragamnya  kebudayaan yang ada di Riau. Pelestarian budaya Riau tidaklah mudah.  Tantangannya datang dari berbagai arah, dari kemajuan teknologi yang menggeser  tradisi, urbanisasi yang menyingkirkan nilai-nilai lokal, serta sikap tidak peduli  generasi muda terhadap warisan tanah air ini. Untungnya, kesadaran untuk  melestarikan budaya mulai tumbuh. Pemerintah daerah memasukkan pelajaran  budaya lokal ke sekolah, menggelar festival budaya di berbagai daerah, dan  memanfaatkan media sosial untuk memperkenalkan kebudayaan. Langkah kecil  ini menunjukkan bahwa budaya bukan benda mati, tetapi sesuatu yang terus hidup  dan menyesuaikan diri dengan zaman. Dan semoga keenam budaya Riau diatas  dan budaya-budaya Riau lainnya akan selalu melekat di jiwa anak bangsa. Selama  nurani masih mengenal asal, budaya takkan padam. Ia hidup dalam hati yang setia  pada warisan leluhur, sebab “Takkan Melayu Hilang di Bumi.”

Posting Komentar

0 Komentar