Karya : Khairul Azam
Waktu yang mengapur di dinding langit membayangi perahu berlayar dalam diam
Selagi asa menetes dari kulit bumi, menyusuri nadi yang mengalirkan kerajaan
Rerumputan tumbuh dalam sunyi, menyimpan rahasia nama yang tak lagi disebut
Dan batu-batu tetap berbicara, dalam bahasa yang hanya dimengerti hujan
Ada kalanya rembulan menimang gamelan, nadanya retak di sela daun jati
Menjelma kabut, menggulung ingatan yang tak sempat diwariskan
Bayangan penari terbelah di antara bara dan abu
Gerakannya sepi, tapi menyala seperti mantra yang enggan padam
Pohon-pohon tua mengantongi warna, dari tanah yang pernah ditulis darah
Udara menua bersama cerita yang tertinggal di ujung keris
Laut menatap dirinya sendiri, di permukaan ombak yang tak selesai bercerita
Di dasar palung, suara masa lalu menetas, menjadi gema yang tak berwajah
Serat-serat tenun menggigil di tangan perempuan yang tak disebut sejarah
Warna-warna pudar, tapi benangnya masih mengingat arah angin
Langit menyulam doa dengan jarum matahari, menutup luka tanpa bekas
Dan di sela benang, tercium aroma hujan yang belum jatuh
Bayang candi menua dalam tidur, lumut menulis puisi di punggung batu
Aksara hilang satu per satu, namun maknanya menetap di udara
Ada nyanyian yang tak berirama, tapi dikenal oleh jiwa yang diam
Ia bukan lagu, bukan doa, hanya gema dari sesuatu yang pernah berarti
Di ujung senja, tanah dan waktu berpapasan tanpa sapa
Langkah-langkah silam masih bergema di bawah akar
Angin menunduk membawa serpih nama
Dan bumi masih bergetar, seolah mengingat siapa yang pernah mencintainya
.png)
0 Komentar