Jejak Jenaka Oleh Ilham Ramadhan


Jejak Jenaka
Oleh Ilham Ramadhan

‘Brengsek!!!’ 

Sampai detik ini ucapan itu tak bisa terlontar dari mulutku, melainkanhati yang menggeliat terucap tanpa terdengar siapa pun. Hanya aku danTuhanyang tahu apa arti ujaran itu. 

Hidup ini berjalan tanpa aba-aba, aku belum siap menapak di jejak selanjutnya. Tetapi putaran waktu merubah hari demi hari, tahun demi tahun, dan lebih sakitnya sedih yang tak berkesudahan. Perjalanan panjang yang aku anggap akan kuat kujalani ternyata melemahkan diriku, aku jatuh dilubang yang sama. Tidak hanya sakit fisik, juga batin lebihperih saat semua usahaku mengkhianati hasil. 

‘Usaha tak mengkhianati hasil.’ Untaian kalimat yang selalu keluar dari layar handphoneku saat aku mencari kata-kata motivasi di jendela internet. Dulunya aku naif dan percaya bahwa kutipan itu ditulis oleh orang yangtelah membuktikan keberhasilannya. Aku pun terbuai menggerakkansegala usahaku untuk menjadi bagian penerima hasil itu. Namun, sayangseribu sayang usaha itu ada sosok yang mengkhianatinya. Sampai saat ini aku tidak tahu siapa yang telah berani berkhianat. 

Setiap perjalan hidupku selalu aku manfaatkan sebaik mungkin, termasukpeluang yang ada di depan mata. Aku sosok yang begitu ambisius danserius, terutama saat dihadapkan oleh tantangan yang membentuk karakterku lebih berani. Di balik semua itu, ada kekurangan yang akumiliki, yaitu tidak percaya diri dan overthinking. Kekurangan itu mendominasi atas kelebihanku yang selama ini telah kupertahankan. Ibarat kata, antarakekurangan dan kelebihanku sama halnya dengan air dan minyak. Tidakdapat untuk disatukan.

 

Semakin dewasa pikiranku juga ikut mendewasakan diri. Aku selaluberpikiran tentang masa depan dan bagaimana nasibku nanti. Persiapanakan masa depan terbukti saat aku mengikuti segala macamperlombaanmenulis karya sastra. Imajinasiku bermain untuk merangkai kata-kataindah yang dapat memotivasi banyak orang. Sempat satu niatan akuinginseperti motivator ketika aku berhasil menjadi seorang penulis nantinya. 

Zaman yang semakin canggih dengan teknologi membuat banyak orangmudah dalam mengakses informasi. Baik berita, karya ilmiah, ataupunkarya sastra yang berfungsi untuk menambah wawasan dan penghibur diri. Buku-buku yang tersusun rapi di rak-rak perpustakaan membawa pikirankuuntuk berada di antara buku-buku itu. Bukan aku, tapi karyaku yangkuinginkan berbaris di deretan buku Tere Liye. 

‘Semoga suatu saat nanti bisa baca buku sendiri.’ Sebaris kalimat yangpernah aku tulis di instastory sosial mediaku. Harapan besar dan segudang keyakinanlah yang membuat aku berani mengikuti perlombaanmenulis, hingga mengirimkan karya ke media yang menerima berbagai tulisan. 

Sekuat usahaku yang terus mencoba untuk mengikuti perlombaan, makasekuat itu pula keberhasilan menjauhiku. Aku bersungguh-sungguh merancang niat dan memulai aksiku menulis karya sastra, tetapi takdir dengan sungguh-sungguh menghancurkan kepercayaan diriku. Akugagal berkali-kali saat mengikuti lomba cipta puisi maupun cerpen. Semuasirnaditelan angan-angan yang telah kupersiapkan jika aku memenangkankompetisi itu.

 

Rasa sesal dan sakit hati berkali-kali terjadi. Ingin rasanya menghentikanjalanku melanjutkan jejak kesastraan yang selama ini aku pikir menghantarkan kebahagiaan. Ternyata memang sakit saat ekspetasi tidaksesuai dengan realita. Frasa ‘coba lagi’ menjadi bukti nyata untuk akumengulang kegagalan. Kenapa harus berkali-kali gagalnya? Apa akusekuat itu menerima kenyataan? 

 

Kekurangan dalam diriku yang tak percaya diri dan overthingking mulai menghantuiku. Aku yang tidak lagi bersemangat mengikuti perlombaandan mengirmkan karya tulisku ke media-media. Sebab itu aku butuhwaktumengobati luka kegagalan yang menimpaku. Sekali aku bisa kuat, namunbagaimana jika lebih dari satu kali? Menangis hanya obat sesaat, tetapi efek dari kegagalan itu membuat aku tidak percaya diri dengan kualitastulisanku. Sampai aku berpikir tentang kriteria tulisan seperti apa yangdinilai oleh dewan juri? Apakah harus indah seperti karya Chairil Anwar?Atau bermakna luas seperti karya Rida K Liamsi? 

"Ah semua itu telah kulakukan. Hasilnya sama saja. Percuma!" 

Pikiran buruk dan gambaran masa depan yang masih abu-abu terpampangdi sudut mataku. Takut bahwa sastra bukanlah jalanku. Cemas bahwausahaku adalah sialku selama perjalanan menuju keberhasilan. Akuinginberhenti di bidang kepenulisan, tak ingin menggelutinya lagi karena hanyapahit yang kualami. Orang-orang hanya bisa memberi motivasi tanpatahuapa yang kurasa. Goyah semakin berguncang, memberi pilihan yangsulit kepadaku. 

Aku sadar dengan diriku yang bergebu-gebu ingin berada di tonggak keberhasilan, sehingga sulit bagiku untuk menerima kegagalan ini. Apalagi usahaku yang sudah diiringi dengan untaian doa. Tak mampu berkata-katalagi jika diri ini merasa optimal dalam usaha dan doa, tetapi tetap sajatidak sesuai dengan apa yang kuharap. Menyalahkan Tuhan pun tak berani dilakukan. Diri inilah berujung sakit yang hampir tiap hari aku salahkan. 

“Kenapa diri ini bodoh. Kenapa tidak bisa menjadi bagian dari merekayangberhasil. Kenapa dan apa penyebabnya?!” Perkataanku yang semakintidakmenerima kenyataan tentang hidup ini. 

Penyesalan kian membuatku tak ada lagi gairah untuk menulis. Akumenghentikan langkahku mengikuti perlombaan lagi. Dendamku memuncak kepada takdir yang tak sesuai dengan apa yang aku harapkanselama aku berusaha. Aku mencoba berjalan di titian yang belumakucoba sebelumnya, yaitu membaca puisi. Dibanding aku yang susah payahuntuk menulis, mengumpulkan semua ide dan gagasan, serta membuangwaktu yang hasilnya akan sama saja- gagal. Lebih baik aku mencobabacapuisi yang hanya bermodalkan suara dan energi. 

Saat itu waktu yang tepat bagiku mencari karya puisi di internet. Matakutertuju di nama penyair asal Riau bernama Sutardji CalzoumBachri. Akupun mencari tahu banyak hal tentang tulisan beliau. Salah satu puisi yangmembuat aku terdiam memaknai maksud isinya, yaitu puisi berjudul ‘Luka’ yang hanya berisikan ‘ha ha’ sebagai maskud tertawa. Tidak butuh waktulama untuk membaca puisi tersebut, tetapi butuh waktu bertahun-tahunmengetahi maksudnya sebelum bertanya kepada penulisnya langsung. 

Niatku yang mencoba untuk memaknai puisi ‘Luka’ itu dengan membacanya berulang-ulang. Sesekali aku membaca ‘ha ha’ dengannadatertawa. Sesekali pula aku membacanya dengan nada meremahkan. Hingga pada akhirnya aku membacanya dengan nada menangis. Sungguhpendalaman jiwa dan karakter agar dapat mengerti maksud isi tersebut. Perspektifku mungkin bisa saja berbeda dengan orang lain, tetapi penulisberhasil memperkaya imajinasi pembaca lewat puisinya. 

Seketika langkahku berbalik arah, menginginkan kembali menulis lewat

kata-kata yang dapat memperkaya imajinasi pembaca seperti bapak Sutardji Calzoum Bachri. Goyahku terguncang lagi, kali ini tidak diiringi amarah yang membeludak. 

Aku berusaha percaya diri dan meyakini diriku kembali. 

“Aku bisa, aku mampu melupakan kegagalan sebelumnya” Ucapku melawan segala yang menghantui. 

Baru kusadari bahwa menulis dan membaca bukanlah dua perbedaanseperti layaknya air dan minyak. Mereka berdua memanglah berbeda, tetapi ketika disatukan akan menghasilkan keterampilan berbahasa yangkaya luar biasa. Ketika menulis didasari oleh membaca, maka hasil bacaan dapat mempengaruhi kualitas tulisan. Begitu juga ketika membaca didasari oleh menulis, maka hasil bacaan dapat memperkaya maknadari tulisan itu sendiri. 

Kini aku tidak perlu repot mau melangkah ke mana. Jalanku telah lurus ketika bertemu dengan dunia sastra. Aku bebas berekspresi dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Setelah itu, aku dapat membacatulisanku sambil melangkah tertawa. Itu semua dapat mengisi kekosonganku dengan hal yang bermanfaat daripada menangis yangtakkunjung sudah. 

Hidup dengan mode serius tanpa adanya lelucon akan membosankan. Akusudah merasakannya. Mulai dari kecewa, sakit hati, kegagalan, dan penyesalan telah memberiku pelajaran. Apa yang terjadi hari ini belumtentu sama dengan hari esok. Jangan terlalu dirisaukan, bawalah sedikit tertawa. Maksudnya tertawa untuk serius menuangkan hal lucu lewat karya sastra. 

“hehe”

Posting Komentar

0 Komentar